Miris: Finding Love [Chapter 6]

Hai, simak kelanjutannya ya!

“Jadi kalian berdua temenan dari SMA ya?” ucap Sheryl.
“Iya, Sher. Bahkan sekarang juga sekampus. Arsen sering banget main ke kost-an saya.”
“Baku banget lo ngomong sama cewek pake saya. Ngga sekalian pake beliau.” ucap Arsen.
“Abisnya kalo pake gue-lo ngobrol sama anak SMA tuh kesannya kasar banget, Sen.”
“Ngga kok Kak, santai aja sama Sheryl.” ucap Sheryl.

Makanan Nanda dan Arsen sudah habis. Sudah jam sebelas malam, tapi mereka berdua masih asik mengobrol di warung Mama Sheryl.

“Eh, kalian satu SMA ya? Kak Nanda kok waktu itu ngga dateng pas angkatan 19 diundang ke sekolah?”
“Lagi pindahan waktu itu. Jadi ngga sempet ke sekolah.”
“Bohong, dia lagi jalan Sher sama pacarnya. Hahahaha.” ledek Arsen.
“Sejak kapan gue pacaran? Ada juga lo noh yang gonta-ganti cewek mulu.”
“Udah udah udah, kok kalian malah berantem.” lerai Sheryl.

“Yaudah deh, gue balik ya.” Arsen bangun dari duduknya.
“Terus nanti gue ke kost-an jalan kaki gitu?”
“Ya iyalah. Kan deket. Udah ah, udah malem banget. Sher, gue balik ya. Tante Uta, saya balik ya.” pamit Arsen.
“Iya Mas, hati-hati di jalan.”
“Hati-hati Kak.”

Arsen hanya tersenyum. Ia mulai melesat dari situ.

Keesokan harinya, Lira, Ingga, Dizi, dan Sheryl baru sampai di sekolah. Mereka langsung berkumpul di lapangan—olahraga, karena Pak Badri sudah ada di lapangan. Mereka berempat menaruh tasnya di pinggir lapangan.

“Diz, nengok ke atas, di depan lab bahasa.” bisik Lira.

Dizi melakukan hal yang baru saja dibisikkan Lira. Ada Kak Dirly di sana, memperhatikan Dizi yang sedang melakukan pemanasan. Dizi jadi aneh dilihati seperti itu.

“Ciye, Dizi.” ledek Sheryl.
“Ehem. Akhirnya sebentar lagi diantara lo bertiga bakal ada yang nyusul gue.” ucap Ingga.
“Apaan sih kalian.” Dizi tersipu malu.

“Ra, tunggu deh. Berarti Kak Dirly adiknya yang mobilnya lo tabrak itu dong?”
“Dizi, please deh, lo ngga nyimak ya semalem? Iya, Kak Dirly adiknya Kak Arsen.” ucap Ingga.
“Lucunya lagi, pacarnya Ingga itu seniornya Kak Arsen sama Kak Nanda.” ucap Sheryl.
“DEMI APA LO?” Dizi dan Lira bertanya dengan ekspresi tidak percaya.
“Tanya aja Ingga.” kata Sheryl.
“Iya. Erland yang ngospek mereka hahahaha.”
“Kok aneh ya. Jangan-jangan abis ini gue dapet kabar kalo ternyata Kak Erland itu Kakak gue yang terbuang.” gumam Lira.
“Kayanya ngga mungkin deh. Kak Erland kan orang Jogja, nah, lo kan ngga punya kampung.” ledek Sheryl.
“Kalah deh gue kalo udah bawa-bawa kampung.” ucap Lira.
“Hahahahaha. Eh, Ra, lo sama si Arsen aja. Dia lumayan keren kok.” ucap Ingga.
“Sama dia? Yang kemaren marah-marah sama gue? Ih, ogah!”
“Lira belum bisa move on, Ngga.” ledek Dizi.
“Udah! Gue udah move on!” kata Lira.

Seseorang yang merasa dibicarakan, menoleh kearah Ingga dan ketiga kawannya.

“Kenapa Go, kok lihat-lihat?” tanya Ingga.
“Siapa? Gue ngga ngelihatin kalian kok. Orang gue ngelihatin ring basket.” jawab Virgo yang sebenarnya ngeles.

Virgo memang selalu begitu. Sudah ketangkap basah masih bisa-bisanya mengeles. Memang, Ingga, Lira, Sheryl, dan Dizi sedang duduk di bawah ring basket. Tapi buat apa Virgo ngelihatin ring basket?

Sepulang sekolah, Lira dan kawan-kawan belum juga keluar kelas. Mereka memang jarang langsung keluar kelas kalau sudah jam pulang sekolah.

Ingga dan Sheryl baru datang dari kantin. Mereka berdua kaget melihat Kak Dirly sedang duduk di bangku di depan kelas XI IPA 2.

“Ngapain Kak? Nyari Dizi?” tanya Ingga.
“Nyari Dizi sama lo. Gue kan tutor kalian. Panggilin Dizi deh.” jawab Kak Dirly.
“Ya ampun Kak, tinggal manggil doang.” ucap Ingga.

Ingga berdiri di depan kelas.

“Dizi! Kita dipanggil Kak Dirly. Sini lo.” teriak Ingga.
“Apaan sih?” Dizi menghampiri Ingga dan mendapati Kak Dirly di depan kelasnya. “Oh, KIR ya. Kenapa kenapa?” tanya Dizi.

“Eh iya, Sheryl, lo sama Lira juga dicariin Febi tadi, ke kelasnya gih.” ucap Kak Dirly.
“Oke, makasih Kak infonya.” Sheryl masuk dan mengajak Lira ke kelas Kak Febi, XII IPA 2.

Di kelas XII IPA 2…

“Kak Febi, ada apa manggil kita?” tanya Sheryl.
“Manggil kalian? Engga kok, ini aku baru aja mau pulang.”
“Kak Dirly ngerjain kita, Sher.”
“Hahahaha mau aja dikadalin si Dirly. Aku duluan ya.”

Sheryl dan Lira naik lagi ke lantai tiga.

“Gimana, ketemu ngga sama Febi? Hahahaha.” geli Dirly.
“Bikin gue bakar kalori aja sih Kak.” ucap Lira.
“Yailah, cuman turun selantai doang.” ucap Dirly.
“Kalian bertiga ngga lagi ngebahas KIR kan?” tanya Lira yang menghampiri Dizi, Ingga, dan Kak Dirly.
“Engga, orang lagi ngomongin orang. Hahahaha.” jawab Ingga.
“Ngomongin siapa?” tanya Lira.
“Kak Arsen.” Dizi menjawab.
“Ooh.” kemudian, Lira ngacir ke dalam kelas.
“Kenapa dia?” tanya Kak Dirly.
“Dia kesel Kak semalem diomel-omelin Kak Arsen, padahal dia udah minta maaf. Tapi Kak Arsen kocak banget semalem, hahahaha. Marah-marahnya lucu.” ucap Sheryl.
“Dia mana pernah marah. Yang ada dimarahin mulu, hahahaha.” ucap Kak Dirly.
“Eh iya Kak, emang bener ya Kakaknya Kakak disuruh naik angkutan umum gara-gara mobilnya lecet?” tanya Ingga.
“Iya. Papa ngga pernah main-main sama omongannya. Tapi paling Kak Arsen minta dijemput pacarnya.”
“Oh, Kak Arsen udah punya pacar?” tanya Dizi.
“Kakaknya Kakak udah punya pacar, Kakak sendiri kapan?” ledek Ingga.

Wajah Dizi memerah.

“Kapan ya? Ngga tau deh. Hahahaha.” jawab Dirly seraya melirik Dizi.

Libur semester telah tiba!

Dirly mengajak Dizi pergi di hari pertama libur. Hari ini, Dirly mengenakan kaos warna abu-abu dengan saku di sisi kiri atas berwarna cokelat.

“Mau ke mana lo?” tanya Arsen dari balkon atas rumahnya.
“Mau jalan sama temen.” jawab Dirly seraya memakai helm dan naik ke atas motornya.
“Sama temen apa sama Dizi?”

Dirly menoleh ke arah Kakaknya itu.

“Kok lo tau namanya Dizi?” tanya Dirly.
“Menurut lo dari mana?”

Dirly diam sejenak.

“Oh iya, lo kan pernah ketemu Dizi dan kawan-kawan. Eh iya, jangan galak-galak sama orang yang ngga berhak digalakin.” sindir Dirly.
“Maksud lo?”
“Lira itu penggalau.”
“Lha, apa urusannya sama gue.”

Kemudian, Arsen masuk ke dalam. Dirly hanya menggelengkan kepalanya lalu melesat dari rumahnya.

Dizi sudah berdiri di depan Indomart samping gang rumahnya. Dizi memang selalu seperti itu kalau pergi keluar rumah. Hanya mengenakan celana jinsnya dan kemeja, sambil melampirkan tas selempang di pundaknya. Hari ini, Dizi menggerai rambut hitam panjangnya.

“Maaf, lama ya?” tanya Dirly begitu sampai.
“Ngga kok, masih lamaan ngejomblo. Hahahaha.” jawab Dizi yang membuat Dirly menyunggingkan senyumnya.
“Yaudah yuk, naik.”

Dizi naik di belakang Dirly. Mereka pun segera meluncur ke arah Margonda. Selesai memarkirkan motor di Margo City, mereka berdua masuk dan langsung mencari restoran untuk mengisi perut.

“Yakin Kak mau makan sekarang?” tanya Dizi.
“Iya. Kenapa emang?” tanya Dirly.

Dizi menggigit bibir bawahnya.

“Aduh, mana tadi pagi nasi uduk dua bungkus, lagi.” gumam Dizi.
“Hah? Dua bungkus Diz? Serius?” tanya Dirly sedikit kagum.
“Hah? Ng…”
“Berarti masih kenyang ya? Yaudah, mau nonton dulu apa ke toko buku dulu?”
“Makan dulu aja. Ngga papa, gue ngga mesen Kak, Kakak aja yang makan.”
“Tapi lo pesen minum ya? Ngga enak kalo lo cuman ngelihatin doang.”
“Iya… iya…”

Mereka berdua memilih Solaria. Dan meja yang mereka pilih, meja di luar.

“Chicken mozzarella satu, ice green tea satu, sama milkshake strawberry satu.” ucap Dirly di meja kasir dan langsung membayarnya.

Lalu, Dirly kembali ke meja tempat ia dan Dizi.

“Kakak niatnya mau lanjut kuliah di mana?” tanya Dizi.
“Maunya sih kaya Kak Arsen. Tapi…”
“Tapi kenapa Kak?”
“Papa nyuruh gue sekolah pilot.”
“Wah, bagus dong? Keren banget kalo Kakak bisa jadi pilot.” antusias Dizi.
“Biar bisa ngajak lo keliling dunia ya?”

Dizi diam mendengar ucapan Dirly.

“Lo seneng kalo seandainya gue sekolah pilot?” tanya Dirly.
“Ya seneng lah Kak. Papanya Kakak pasti mau yang terbaik buat putranya.”
“Emang baik buat gue, tapi kayanya ngga baik buat lo.”
“Kok buat Dizi? Emang kenapa?”
“Udah, lupain aja. Lagian juga UN masih empat bulan lagi.”

Tak lama, pesanan mereka datang.

“Mau coba ngga?” tawar Dirly.
“Ngga Kak, makasih.” Dizi menelan ludah melihat pesanan Dirly.
“Enak lho, coba ya? Sekali aja…” Dirly mulai memotong chicken yang disausi mayonais. “Nih, gue suapin.” Dirly mendekatkan makanan itu di depan mulut Dizi. Dizi menggeleng sambil menahan napas.

“Kenapa sih? Kok ngga mau? Sekali aja, Diz.” ucap Dirly.

Dizi malah memasukan makanan itu ke mulut Dirly.

“Gue ngga suka mayonais, ngga suka gituan juga.”

Dirly menatap Dirly, tersenyum.

‘Dia beda.’ bisik Dirly dalam hatinya.

~

Lira keliling mencari novel di lantai 2 toko buku Gramedia. Sendiri. Sebenarnya, iseng saja ia bepergian sendirian. Tidak meminta ditemani Dizi karena Lira tahu kalau Dizi mau jalan sama Kak Dirly. Ingga juga pasti sudah di-booking Kak Erland. Kalau Sheryl, katanya, dia harus membantu Mamanya di rumah.

Lira sedang membaca synopsis sebuah novel. Padahal, di tangannya sudah ada dua buah novel yang sudah pasti dibelinya.

“Sendirian aja.” ucap seseorang sambil membaca sebuah buku di tangannya.

Lira menoleh ke sumber suara.

“Lo?” tanya Lira.

Virgo tersenyum. Lira menaruh novel yang tadi ia baca sinopsisnya ke tempat semula, kemudian pergi meninggalkan Virgo.

“Ra,” Virgo menarik tangan Lira. “Kenapa sih lo masih ngehindarin gue?” tanya Virgo.

Lira menepis tangan Virgo.

“Gue duluan.” ucap Lira.
“Lira, tunggu Ra.” Virgo mengejar langkah Lira.

Lira mengantre untuk membayarkan dua novel yang sedang digenggamnya.

“Ra, gue mau ngomong sebentar sama lo.”
“Yaudah ngomong aja.”
“Ngga di sini juga. Selesai bayar lo ikut gue dulu ya?”
“Ngga bisa. Gue harus langsung pulang.”
“Yaudah, kalo gitu gue anter.”
“Ngga usah, gue bisa sendiri.”
“Ra.”
“Go. Udah ngga ada yang perlu diomongin.”

Lira menyerahkan novelnya kepada penjaga kasir. Lalu mengeluarkan selembar seraus ribu rupiah. Setelah itu, Lira beranjak dan Virgo mengekorinya sampai depan toko buku Gramedia.

“Ra, tunggu.” Virgo menggenggam tangan Lira.
“Go, gue udah cukup paham sama semuanya. Dan gue ngerti, jadi udah ngga ada yang perlu diomongin.”
“Lira,”

Lira menuruni anak tangga.

“Gue udah putus.” ucap Virgo.

Lira menghentikan langkahnya.

“Terus urusannya sama gue apa?” tanpa menunggu jawaban Virgo, Lira melanjutkan langkahnya dan segera keluar dari toko buku.

“Lira!” teriakan Virgo yang tidak akan Lira tanggapi, karena ia sudah pergi bersama taksi yang membawanya dari situ.

Lira benar-benar sedang ingin merenung. Ia memutuskan untuk pergi ke sebuah taman umum daerah Menteng.

Lira memang selalu bepergian sendiri kalau ingin menenangkan pikirannya. Tak peduli sejauh apa dia melangkah.

Duduk di salah satu kursi sambil membaca novel yang tadi ia beli.

Lira teringat sesuatu. Pikirannya mundur ke beberapa bulan lalu.

“Maaf, aku mau kita sampe sini aja.”
“Kenapa? Salah aku apa?”
“Aku takut nyakitin kamu, Ra. Aku tau, kamu selalu sakit atas semua perbuatan aku.”
“Kalo gitu perbaikin kesalahan yang udah kamu sadari, bukan mutusin aku.”
“Maafin aku, tapi kita bener-bener ngga bisa ngelanjutin lagi. Aku rasa, aku bener-bener udah nyakitin kamu.”

Lira menangis.

“Aku ngga mau kamu tambah sakit ke depannya. Aku janji, ini terakhir kalinya aku bikin kamu nangis. Perasaan aku terbagi, Ra. Dan aku rasa, aku udah milih sebuah keputusan, biarpun aku sayang banget sama kamu.”

Lira menatap Virgo. Lira benar-benar tidak percaya. Ada orang lain selain Lira di hatinya? Dan Virgo lebih memilihnya dari pada Lira?

“Dan pastiin kalo kamu ngga akan pernah ngomong lagi sama aku.” ucap Lira yang setelah itu meninggalkan Virgo sendiri.

Halaman depan sebuah novel, sudah terdapat beberapa tetesan air mata. Lira menghapus air mata di pipinya.

~

“KITA PUTUS!”
“Kamu apaan sih ngomongnya.”
“Aku capek sama cowok yang deket sama semua cewek.”
“Siapa yang deket sama semua cewek? Aku tuh sayang sama kamu. Cuman kamu.”
“Basi, Sen! Aku minta putus.”
“Aku ngga mau. Lagian, salah aku apa coba?”
“Kamu pikir aku ngga tau kamu selingkuh?”
“Selingkuh apa sih?”
“Berhentiin mobilnya!”
“Engga.”
“Aku bilang berhentiin.”

Perempuan yang duduk di sebelah Arsen memaksa Arsen menghentikan mobilnya. Mereka malah jadi berebutan stir mobil.

“Rere kamu gila ya? Kamu apa-apaan sih!” Arsen menepis tangan kekasihnya.
“Berhentiin mobilnya, Arsen.” Rere menangis.
“Ngga akan!”
“Kalo gitu aku turun paksa aja!”

Rere nekat dan hendak membuka pintu mobil, Arsen menahannya. Konsentrasi Arsen terbelah dua. Antara jalanan di depannya dan juga Rere yang nekat ingin membuka pintu.

Seseorang hendak menyebrang namun mobil Arsen masih terus melaju. Arsen menginjak rem dan kemudian Rere turun dari mobilnya.

“Rere!” panggil Arsen.

Arsen langsung keluar dari mobilnya. Untunglah seseorang yang masih berada di depan mobilnya tidak kenapa-napa. Tapi…

Lira menahan rasa ngilu pada tangan kanannya.

“Lo?” ucap Arsen. Lira diam menatap Arsen. Arsen menghampiri Lira. “Lo tuh punya mata ngga sih? Jalan ngga ngelihat kiri-kanan!” bentak Arsen.
“Yaudah, maaf.” ucap Lira sambil memijat tangan kanannya.

Arsen menatap kepergian Lira. Lalu masuk ke mobil dan memperhatikan Lira dari balik stir. Arsen jadi teringat ucapan adiknya tadi pagi.

“Lira itu penggalau.”

“Kayanya tadi dia lagi galau. Kenapa ya? Dia juga ngga nyolotin kaya waktu itu.” gumam Arsen.

Arsen menyalakan mesin mobilnya. Berjalan mengikuti langkah Lira. Lira yang berjalan kaki di pinggir jalan, merasa ada sesuatu di belakangnya. Ia merasa malas menoleh. Dengan tiba-tiba, Lira menghentikan langkahnya, dan tidak sengaja Arsen menabrak Lira hingga Lira terjatuh.

“Aduh!” buru-buru Arsen turun dari mobilnya dan membantu Lira.

“Lo ngga papa? Maaf ya, ngga sengaja.” Arsen membantu Lira berdiri.
“Lo dendam sama gue? Sampe-sampe lo nabrak gue dua kali hari ini.” ucap Lira dengan mata berkaca-kaca.
“Bu… bukan gitu maks—“
“Lo sengaja nabrak gue karena waktu itu gue ngga sengaja nabrak mobil lo sampe mobil lo lecet? Gue pikir lo ngga sejahat itu, tapi ternyata lo jauh di luar dugaan gue.” ucap Lira sambil menangis.
“Eh, kok lo nangis sih? Eh, sumpah, gue ngga ada niat mau nabrak lo.” ucap Arsen.

Lira merintih sambil memegangi lutut kirinya.

“Mendingan sekarang lo ikut gue ya.” ajak Arsen.
“Ngga usah.”
“Lira, anggap aja ini sebagai permintaan maaf gue. Karena tadi, dan waktu itu, waktu gue ngebentak-bentak lo.”
“Lupain aja, gue ngga papa kok.”

Lira beranjak meninggalkan Arsen, namun di langkah kedua, kakinya serasa tak kuat menopang tubuhnya sendiri.

“Tuh kan, susah sih dibilangin,” Arsen menopang tubuh Lira dari belakang. “Mendingan sekarang lo ikut gue ya.” ucap Arsen menuntun Lira ke mobilnya.

Lira tidak bisa menolak. Karena kakinya terasa sangat sakit.

“Coba kalo tadi lo ngga coba-coba berhenti jalannya, ngga mungkin gue nge-rem mendadak dan malah nabrak lo.” ucap Arsen. Lira diam.

Arsen menoleh.

“Lo diem aja? Kenapa?” tanya Arsen.
“Mendingan lo nyetir aja deh. Jangan banyak nanya, nanti nabrak orang.” sindir Lira.

Arsen diam dan tidak bicara apa-apa lagi.

~

Tunggu kelanjutannya ya!