Miris: Finding Love [Chapter 7]
Hai, simak kelanjutannya ya!
“Halo, Sheryl!” ucap Nanda yang
membuat Sheryl terkejut di balik meja tempat menyediakan pesanan pembeli.
“Kak Nanda ih! Ngagetin aja.” ucap
Sheryl.
“Maaf, iseng aja. Lagi ngapain?” tanya Nanda yang berdiri di samping Sheryl.
“Buatin pesenan Mbak di ujung sana.” jawab Sheryl.
“Maaf, iseng aja. Lagi ngapain?” tanya Nanda yang berdiri di samping Sheryl.
“Buatin pesenan Mbak di ujung sana.” jawab Sheryl.
Nanda mencari seseorang yang Sheryl
maksud. Ada dua orang wanita di sana. Yang satu memakai piama celana dan lengan
panjang, yang satunya lagi memakai celana pendek warna putih dan Nanda yakin,
wanita itu hanya memakai baju berlengan buntung yang dipadu jaket berbahan
tipis warna hitam.
Nanda memalingkan wajahnya saat
sadar kalau wanita yang mengenakan pakaian minim itu sedang melihati Nanda
sambil sesekali berbisik pada temannya, dan melempar senyum pada Nanda.
“Dilihatin tuh sama dia.” ucap
Sheryl sambil tersenyum, lebih tepatnya meledek Nanda.
“Ih. Gue malah takut sama cewek yang kaya gitu.” kata Nanda.
“Mereka kan sama kaya Kakak, sama-sama manusia.” ucap Sheryl sambil membawa kantong plastik berisi dua bungkus makanan. “Sebentar ya, mau anter ini ke mereka dulu.” Sheryl menghampiri dua gadis itu.
“Ih. Gue malah takut sama cewek yang kaya gitu.” kata Nanda.
“Mereka kan sama kaya Kakak, sama-sama manusia.” ucap Sheryl sambil membawa kantong plastik berisi dua bungkus makanan. “Sebentar ya, mau anter ini ke mereka dulu.” Sheryl menghampiri dua gadis itu.
Setelah dua wanita itu pergi dari
sana, Nanda duduk di kursi bermeja panjang itu. Sheryl duduk di hadapan Nanda.
“Kakak ke sini mau ngapain?” tanya
Sheryl.
“Mau makan. Pesen deh, menu biasa.” ucap Nanda.
“Yaudah, Sheryl bikinin dulu ya.”
“Mau makan. Pesen deh, menu biasa.” ucap Nanda.
“Yaudah, Sheryl bikinin dulu ya.”
Sheryl beranjak dari duduknya,
menyiapkan pesanan untuk pelanggan yang akhir-akhir ini hampir setiap hari ke
sini.
Nanda bangun dari duduknya. Ia
malah berdiri di depan meja penyajian makanan, mengambil piring.
“Eh, eh, mau ngapain?” tanya Sheryl
setelah membalik ayam dalam penggorengan.
“Mau bantuin lo.” jawab Nanda.
“Ngga usah. Udah, Kakak duduk aja. Sheryl aja yang nyiapin.”
“Kan gue mau meringankan pekerjaan lo.” kata Nanda yang malah bersandar pada meja penyajian, memperhatikan Sheryl menaruhkan nasi, salad, juga sambal di piring Nanda.
“Bisanya cowok itu bilangnya doang mau bantuin, kenyataannya malah ngeberantakin.” ucap Sheryl.
“Eh, sorry, gue ngga gitu ya. Waktu tinggal di Amrik, gue apa-apa serba sendiri termasuk masak. Gini-gini juga gue bisa masak, ya!” Nanda membanggakan dirinya.
“Masa sih?” Sheryl tersenyum meledek di hadapan Nanda.
“Mau bantuin lo.” jawab Nanda.
“Ngga usah. Udah, Kakak duduk aja. Sheryl aja yang nyiapin.”
“Kan gue mau meringankan pekerjaan lo.” kata Nanda yang malah bersandar pada meja penyajian, memperhatikan Sheryl menaruhkan nasi, salad, juga sambal di piring Nanda.
“Bisanya cowok itu bilangnya doang mau bantuin, kenyataannya malah ngeberantakin.” ucap Sheryl.
“Eh, sorry, gue ngga gitu ya. Waktu tinggal di Amrik, gue apa-apa serba sendiri termasuk masak. Gini-gini juga gue bisa masak, ya!” Nanda membanggakan dirinya.
“Masa sih?” Sheryl tersenyum meledek di hadapan Nanda.
Nanda menelan ludah dan terpaku
dilihati Sheryl seperti itu, Sheryl juga jadi membuang pandangan saat tau
Nanda salah tingkah.
“Eh, itu ayamnya, nanti gosong,
lagi.” ucap Nanda.
Sheryl meniriskan ayam goreng itu,
dan mengambil mangkuk kecil untuk menaruh air cuci tangan.
“Udah, duduk sana.” kata Sheryl.
“Iya… iya. Galak banget sih.” Nanda duduk di tempatnya tadi.
“Iya… iya. Galak banget sih.” Nanda duduk di tempatnya tadi.
Sheryl membawakan pesanan Nanda.
“Mama ke mana?” tanya Nanda.
“Mama gue?”
“Ya iyalah. Masa Mama gue.”
“Mama lagi sakit. Makanya gue jualan sendiri.”
“Mama lo sakit? Sakit apa?” Nanda memasang wajah panik.
“Biasa, kecapekan.”
“Emangnya lo ngga kecapekan juga?”
“Lebih capek Mama, Kak.”
“Mama gue?”
“Ya iyalah. Masa Mama gue.”
“Mama lagi sakit. Makanya gue jualan sendiri.”
“Mama lo sakit? Sakit apa?” Nanda memasang wajah panik.
“Biasa, kecapekan.”
“Emangnya lo ngga kecapekan juga?”
“Lebih capek Mama, Kak.”
Nanda tercengang mendengar jawaban
Sheryl. Nanda lekat memperhatikan Sheryl. Sheryl yang merasa diperhatikan, jadi
balik memperhatikan Nanda.
“Kok ngelihatin gue kaya gitu sih?”
tanya Nanda.
“Kakak duluan yang ngelihatin gue.” ucap Sheryl.
“Kakak duluan yang ngelihatin gue.” ucap Sheryl.
“Mbak, pesen dong.” ucap seseorang.
“Eh, iya.” Sheryl bangun dari duduknya.
“Eh, iya.” Sheryl bangun dari duduknya.
“Mau pesen apa Mbak?” tanya Sheryl
pada seorang wanita yang sepertinya baru pulang bekerja.
“Ayam pedes ada?” tanya wanita yang mengenakan jilbab itu.
“Ada. Mama punya menu baru juga lho Mbak, ada lele.” ucap Sheryl yang mempromosikan menu baru itu.
“Sekarang ada lele? Aku lele aja deh, lele kremes ya.” katanya.
“Oke, duduk dulu aja Mbak.” kata Sheryl.
“Ayam pedes ada?” tanya wanita yang mengenakan jilbab itu.
“Ada. Mama punya menu baru juga lho Mbak, ada lele.” ucap Sheryl yang mempromosikan menu baru itu.
“Sekarang ada lele? Aku lele aja deh, lele kremes ya.” katanya.
“Oke, duduk dulu aja Mbak.” kata Sheryl.
Nanda bangun dari duduknya.
“Kasih tau gue, di menu lele kremes
isinya apa aja.” ucap Nanda seraya mengambil styrofoam.
“Kak—“
“Gue mau bantuin lo.” Nanda menatap mata Sheryl.
“Kak—“
“Gue mau bantuin lo.” Nanda menatap mata Sheryl.
Akhirnya, Sheryl membiarkan Nanda
membantunya.
Memang terasa lebih ringan kalau
berdua! Beberapa pelanggan yang datang, tidak hanya memesan satu. Saat Sheryl
menggoreng ayam atau lele, Nanda-lah yang menyiapkan piring dan segala
sesuatunya di piring tersebut.
“Sher, ayam kremes dua ya. Sayap
sama paha.” ucap seorang pelanggan wanita.
“Iya, Mbak.” kata Sheryl yang kemudian mengambil dua potong ayam.
“Iya, Mbak.” kata Sheryl yang kemudian mengambil dua potong ayam.
Wanita itu duduk bersebelahan
dengan, sepertinya, pacarnya.
“Sher, siapa?” tanya wanita itu,
pelanggan tetap Mama Sheryl seraya melirik Nanda yang sedang memasukan nasi ke
mangkuk cetak. “Pacar?” wanita itu menyebutkan tanpa bersuara.
Sheryl menggeleng sambil tersenyum.
“Sher, nasinya segini kebanyakan
ngga?” tanya Nanda yang rambut gondrong sudah berantakan kemana-mana.
“Cukup kok.” kata Sheryl.
“Cukup kok.” kata Sheryl.
“Ah, ribet banget sih nih rambut.”
Nanda mengambil karet gelang di tempat Mama Sheryl menaruhnya, lalu menguncir
rambutnya dan menyisahkan helai-helai rambut itu.
“Makanya besok potong.” ucap Sheryl.
“Iya, Nyah.” ucap Nanda. Sheryl hanya tersenyum.
“Makanya besok potong.” ucap Sheryl.
“Iya, Nyah.” ucap Nanda. Sheryl hanya tersenyum.
Nanda melirik arlojinya.
“Sher, udah jam sebelas. Ngga tutup
aja? Kasihan fisik lo. Kelihatannya lo juga ngantuk.” tanya Nanda.
“Sebentar lagi aja. Udah biasa nahan ngantuk kok Kak. Kakak ngga pulang aja?”
“Nemenin sampe lo tutup aja deh.”
“Bukannya lagi UAS?” tanya Sheryl.
“Dua minggu lagi. Masih lama.”
“Dua minggu lagi sebentar tau.”
“Buat gue masih lama.”
“Yeu dasar.”
“Sebentar lagi aja. Udah biasa nahan ngantuk kok Kak. Kakak ngga pulang aja?”
“Nemenin sampe lo tutup aja deh.”
“Bukannya lagi UAS?” tanya Sheryl.
“Dua minggu lagi. Masih lama.”
“Dua minggu lagi sebentar tau.”
“Buat gue masih lama.”
“Yeu dasar.”
~
“Pa, nanti malem Dirly mau pergi
sama temen ya? Dirly udah janji mau pergi sama dia pas malam tahun baru nanti.” ucap
Dirly pada Papanya saat makan bersama di meja makan.
“Cewek?” Papanya mempertegas seorang ‘teman’ yang Dirly bicarakan.
“Ya masa pisang makan pisang, Pa.” celetuk Arsen.
“Sen, kamu ngga ada acara malam ini?” tanya Papa.
“Ngga ada.”
“Ngga pergi sama Rere?” tanya Papa.
“Udah putus.”
“Lo putus Kak sama Rere? Pasti lo ngeduain dia.” tukas Dirly.
“Like father like son, right?” sindir Arsen sambil melirik Papanya.
“Cewek?” Papanya mempertegas seorang ‘teman’ yang Dirly bicarakan.
“Ya masa pisang makan pisang, Pa.” celetuk Arsen.
“Sen, kamu ngga ada acara malam ini?” tanya Papa.
“Ngga ada.”
“Ngga pergi sama Rere?” tanya Papa.
“Udah putus.”
“Lo putus Kak sama Rere? Pasti lo ngeduain dia.” tukas Dirly.
“Like father like son, right?” sindir Arsen sambil melirik Papanya.
Papanya hanya tersenyum, padahal ia
sedang disindir anaknya.
“Kenapa Arsen tidak ikut kamu dan
temanmu saja Dir?” usul Papa.
“Hah? Pa, mau nyuruh anak laki-laki pertamanya berubah jadi nyamuk? Ngg ah!” ucap Arsen.
“Yaa, Dirly sih terserah Kak Arsen.” ucap Dirly.
“Hah? Pa, mau nyuruh anak laki-laki pertamanya berubah jadi nyamuk? Ngg ah!” ucap Arsen.
“Yaa, Dirly sih terserah Kak Arsen.” ucap Dirly.
Selesai makan malam, Arsen masuk ke
kamarnya, disusul adiknya.
“Ikut aja Kak, dari pada lo sendiri
di rumah.”
“Sendiri? Ada Mamang, ada Bibi, ada Papa juga. I’m not lonely.”
“Orang yang abis putus selalu kesepian Kak.”
“Sendiri? Ada Mamang, ada Bibi, ada Papa juga. I’m not lonely.”
“Orang yang abis putus selalu kesepian Kak.”
Arsen memberi tatapan membunuh pada
adiknya yang sedang tersenyum meledek.
“Gue males ngelihatin lo berduaan
sama Dizi.”
“Kalo gitu, ajak Rere aja.”
“Lo gila? Dia tuh kepala batu. Udah putus ya udah, mana mau dia ketemu gue lagi.”
“Gue tau!”
“Apa?”
“Kalo gitu, ajak Rere aja.”
“Lo gila? Dia tuh kepala batu. Udah putus ya udah, mana mau dia ketemu gue lagi.”
“Gue tau!”
“Apa?”
~
“Jadi mau kan bantuin Kakak?” tanya
Dirly.
“Mau aja sih. Semoga dia-nya juga bisa. Eh, tapi Dizi boleh ngga ya…” gumam Dizi.
“Gampang, nanti Kakak yang izin sama orangtua kamu.”
“Kamu?”
“Mau aja sih. Semoga dia-nya juga bisa. Eh, tapi Dizi boleh ngga ya…” gumam Dizi.
“Gampang, nanti Kakak yang izin sama orangtua kamu.”
“Kamu?”
Dirly gagap.
“Maksudnya, lo. Iya. Lo.” ucap
Dirly.
Mereka berdua pergi ke rumah Ingga,
lebih tepatnya menjemput Ingga untuk pergi ke kampus Erland.
Dirly meminta izin pada Papanya
untuk membawa mobil Arsen. Papa mengizinkan, lagi pula, Arsen masih dalam masa
hukuman. Waktu pergi sama Rere, Arsen diam-diam mengambil kunci mobilnya di
kamar Papa, karena saat itu, Papa sedang berada di luar kota.
“Emangnya mau ngomong apa sih sama
Erland? Sampe harus ke kampusnya segala.” ucap Ingga yang duduk di bangku
belakang.
“Udah, lihat aja nanti.” kata Dirly di balik kemudinya.
“Udah, lihat aja nanti.” kata Dirly di balik kemudinya.
Sesampainya di depan fakultas
ekonomi-UI…
“Ada apa sih?” Erland datang saat
Dirly, Dizi, dan Ingga sudah menunggu sepuluh menit di kantin ekonomi. Erland
duduk di sebelah kekasihnya.
“Hari Senin depan ada acara Kak?”
tanya Dirly.
“Senin depan tuh tanggal berapa ya?” tanya cowok berparas 11-12 dengan Duta Sheila On 7 ini.
“31.” Dizi bersuara.
“Senin depan tuh tanggal berapa ya?” tanya cowok berparas 11-12 dengan Duta Sheila On 7 ini.
“31.” Dizi bersuara.
Erland diam sejenak dan berpikir
sesaat.
“Ngga ada acara, cuman disuruh jaga
rumah. Nyokap ke Jogja soalnya.” ucap Erland yang membuat Ingga cemberut.
“Kalo ngga salah, kata Kak Arsen, rumah Kakak tuh ada lantai 3 sebagai taman atap gitu ya Kak?” tanya Dirly.
“Iya. Emang kenapa? Lo mau beli rumah gue?” tukas Erland.
“Ngga, lah, Kak.” kata Dirly.
“Boleh ngga Kak, Dirly bikin acara tahun baruan di rumah Kakak?”
“Kalo ngga salah, kata Kak Arsen, rumah Kakak tuh ada lantai 3 sebagai taman atap gitu ya Kak?” tanya Dirly.
“Iya. Emang kenapa? Lo mau beli rumah gue?” tukas Erland.
“Ngga, lah, Kak.” kata Dirly.
“Boleh ngga Kak, Dirly bikin acara tahun baruan di rumah Kakak?”
Mata Ingga berbinar.
“Acara tahun baruan?” tanya Erland.
“Iya. Barbecue-an, rame-rame sama Kak Arsen juga.”
“Ajak Kak Nanda sekalian.” usul Dizi.
“Kok tiba-tiba keinget Kak Nanda, sih?” tanya Dirly, sinis.
“Sama Sheryl juga.” ucap Dizi.
“Ooh. Nah, ya, boleh ya Kak?”
“Boleh aja sih. Tapi kenapa tiba-tiba gini ya?” tanya Erland.
“Membangkitkan Kak Arsen dari keterpurukan, Kak.” ucap Dirly dengan tawanya.
“Emang Arsen kenapa? Putus dia sama si Rere?” tanya Erland.
“Rere siapa? Kok kamu tau?!” tanya Ingga.
“Cewek lah, kan tadi aku tanya, Arsen putus sama Rere? Kamu tuh kalo mau cemburu suka salah nangkep deh.” ucap Erland sambil membelai rambut kekasihnya.
“Iya. Barbecue-an, rame-rame sama Kak Arsen juga.”
“Ajak Kak Nanda sekalian.” usul Dizi.
“Kok tiba-tiba keinget Kak Nanda, sih?” tanya Dirly, sinis.
“Sama Sheryl juga.” ucap Dizi.
“Ooh. Nah, ya, boleh ya Kak?”
“Boleh aja sih. Tapi kenapa tiba-tiba gini ya?” tanya Erland.
“Membangkitkan Kak Arsen dari keterpurukan, Kak.” ucap Dirly dengan tawanya.
“Emang Arsen kenapa? Putus dia sama si Rere?” tanya Erland.
“Rere siapa? Kok kamu tau?!” tanya Ingga.
“Cewek lah, kan tadi aku tanya, Arsen putus sama Rere? Kamu tuh kalo mau cemburu suka salah nangkep deh.” ucap Erland sambil membelai rambut kekasihnya.
Dizi dan Dirly saling menatap.
Setelah mendapat persetujuan dari
Erland, Dirly, Dizi, dan Ingga melesat. Masih di daerah kampus Universitas Indonesia.
Mereka akan segera menemui Nanda di fasilkom.
Mereka bertiga tidak turun dari
mobil—menunggu di parkiran.
“Kenapa Dir?” tanya Nanda.
“Eh, sorry Kak kalo kita ganggu kuliah Kakak.” Dirly langsung turun dari mobil, diikuti Dizi dan Ingga.
“Engga kok, kebetulan gue lagi ngga ada jam. Ada apa?”
“Eh, sorry Kak kalo kita ganggu kuliah Kakak.” Dirly langsung turun dari mobil, diikuti Dizi dan Ingga.
“Engga kok, kebetulan gue lagi ngga ada jam. Ada apa?”
Dirly, Dizi, dan Ingga menjelaskan
maksud kedatangan mereka. Tidak butuh waktu lama, karena Nanda sudah mengerti
dengan tujuan adik dari sahabatnya ini.
“Jadi bisa ya Kak?” tanya Dirly
dengan senyuman.
“Bisa, bisa.” kata Nanda sambil mengangkat ibu jarinya.
“Jangan lupa ajak Sheryl dan izin ke Mamanya.” ucap Dizi.
“Sip.”
“Bisa, bisa.” kata Nanda sambil mengangkat ibu jarinya.
“Jangan lupa ajak Sheryl dan izin ke Mamanya.” ucap Dizi.
“Sip.”
Mereka segera beranjak dari sana.
Dirly tidak langsung menuju gerbang utama untuk keluar dari kampus UI,
melainkan keliling melintasi semua fakultas.
“Kalo nanti Pak Aji manggil aku
buat ngisi daftar SNMPTN, aku akan milih jurusan di fakultas ini.” ucap Dirly
saat melintas di depan fakultas teknik.
“Emangnya mau milih jurusan apa?” tanya Dizi.
“Bukan sekadar milih, tapi juga ngejalanin.” Dirly menatap Dizi.
“Ya, tau, masa udah milih ngga dijlanin.” ucap Dizi.
“Arsitektur.” ucap Dirly.
“Emangnya mau milih jurusan apa?” tanya Dizi.
“Bukan sekadar milih, tapi juga ngejalanin.” Dirly menatap Dizi.
“Ya, tau, masa udah milih ngga dijlanin.” ucap Dizi.
“Arsitektur.” ucap Dirly.
“Biar bisa bangun rumah buat
keluarga nanti ya Kak?” ledek Ingga.
“Seribu buat lo, Ngga.” kata Dirly diselingi tawa.
“Seribu buat lo, Ngga.” kata Dirly diselingi tawa.
“Bukannya, Papanya Kakak mau Kakak
sekolah pilot?” tanya Dizi yang mengingatkan akan hal itu.
“Iya, emang. Ya, kita lihat nanti aja.” kata Dirly.
“Iya, emang. Ya, kita lihat nanti aja.” kata Dirly.
Sore ini, kesekian kali Lira
menginjakkan kakinya di toko buku. Untuk kesekian kali juga Lira ke sini
sendiri.
Karena bagi Lira, liburan adalah
saat bermalas-malasan dengan novel-novel teenlit kesukaannya.
Lira mengambil sebuah novel,
omnibook lebih tepatnya. Di situ terdapat kumpulan cerpen sebanyak lima, yang
mengisahkan cerita dengan tema Move On.
Lira membaca sinopsis buku
tersebut. Lira ingat, saat ia membaca sinopsis tersebut, seseorang menyapanya
waktu itu. Dan Lira kembali menaruh buku itu dalam tumpukan di etalase.
Lira berjalan menyusuri etalase
demi etalase untuk mencari kursi yang masih kosong. Ia melihat kursi di ujung
sana kosong, hanya ada satu orang yang duduk di sana. Sepertinya asyik membaca
novel bertemakan Move On sambil melihat jalanan Margonda dari atas sini,
ditengah senja yang hampir tenggelam.
Kursi yang sekarang Lira duduki
memang menghadap ke luar jendela yang dibawahnya jalanan raya Margonda.
Lira melirik seseorang di
sebelahnya. Seseorang itu sedang membaca sebuah buku, dan buku satunya lagi ia
letakan di sebelahnya. Menurut pengamatan Lira, cowok ini pasti kuliah di
jurusan geografi.
Seseorang di samping Lira, merasa
dilihati. Saat Lira membuka halaman pertama…
“Lira?”
‘Please, jangan Virgo.’ benak Lira.
Lira menoleh. “Lo?”
“Kok kita bisa ketemu di sini ya?” Arsen menutup buku yang sedang dibacanya.
“Ya emangnya cuman makhluk luar angkasa yang boleh ke sini?” tanya Lira.
“Sendirian?” Arsen mengabaikan pertanyaan ngelantur Lira.
“Yang lo liat gimana?” tanya Lira.
“Ya, sendiri sih.” Arsen menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kok kita bisa ketemu di sini ya?” Arsen menutup buku yang sedang dibacanya.
“Ya emangnya cuman makhluk luar angkasa yang boleh ke sini?” tanya Lira.
“Sendirian?” Arsen mengabaikan pertanyaan ngelantur Lira.
“Yang lo liat gimana?” tanya Lira.
“Ya, sendiri sih.” Arsen menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Lira melanjutkan bacaannya. Arsen
memperhatikan buku yang Lira baca.
“Bacaan lo galau banget sih.” komen
Arsen.
Lira menutup kembali bacaannya.
“Kenapa sih kursi yang kosong harus
di sini. Udah deh, lo baca aja bacaan lo, gue baca bacaan gue. Jangan berisik,
bisa?” sambar Lira.
“Jutek banget sih. Gue kan cuman ngomong.” ucap Arsen yang kemudian membuka buku yang tadi ia tutup.
“Jutek banget sih. Gue kan cuman ngomong.” ucap Arsen yang kemudian membuka buku yang tadi ia tutup.
Lira mengabaikan omongan Arsen, ia
sibuk dengan alur cerita di novel yang ia baca. Arsen malah menutup bukunya,
dan menaruh di atas buku yang ia taruh di sampingnya.
Arsen bangkit dari duduknya,
meninggalkan Lira sendiri bersama bacaannya.
“Akhirnya pergi juga.” ucap Lira.
Lima menit kemudian, Arsen kembali
duduk disamping Lira, membawa buku yang sama seperti yang sedang Lira baca.
“Kirain udah pulang.” gumam Lira.
Arsen tak mempedulikan omongan
Lira, ia masih terus membaca apa yang Lira baca, walaupun sesungguhnya teenlit
bukanlah bacaan yang asyik dibaca menurut Arsen.
“Kok lo suka sih baca cerita romantis
bullshit gini?” Arsen tak sanggup
membaca satu judul cerita di bagian pertama.
“Kok lo suka sih ganggu orang yang lagi baca cerita romantis bullshit gini?” Lira bertanya sambil melempar tatapan pada Arsen.
“Itu bukan jawaban dari pertanyaan gue.” kata Arsen.
“Terus menurut lo, itu jawaban dari pertanyaan gue?” tanya Lira.
“Kok lo ngeselin sih? Ra, cerita di novel tuh ngga akan ada di dunia nyata, si Silver aja yang bodoh, percaya kalo jalan hidupnya sama Novel kaya di novel yang ditunjukin sama Novel.” ucap Arsen.
“Lo bisa diem ngga sih?! Terserah gue kali mau baca cerita bullshit atau engga. Terserah penulisnya juga mau bikin karakter Silver gimana. Kok lo jadi repot? Lo kekurangan masalah ya sampe hobi banget nyari masalah?” ucapan Lira bagai senapan yang terus menembakkan peluru di depan wajah Arsen. “Gue yang pergi, atau lo yang pergi?” tanya Lira.
“Iya… Iya… gue pergi.” Arsen bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan Lira.
“Kok lo suka sih ganggu orang yang lagi baca cerita romantis bullshit gini?” Lira bertanya sambil melempar tatapan pada Arsen.
“Itu bukan jawaban dari pertanyaan gue.” kata Arsen.
“Terus menurut lo, itu jawaban dari pertanyaan gue?” tanya Lira.
“Kok lo ngeselin sih? Ra, cerita di novel tuh ngga akan ada di dunia nyata, si Silver aja yang bodoh, percaya kalo jalan hidupnya sama Novel kaya di novel yang ditunjukin sama Novel.” ucap Arsen.
“Lo bisa diem ngga sih?! Terserah gue kali mau baca cerita bullshit atau engga. Terserah penulisnya juga mau bikin karakter Silver gimana. Kok lo jadi repot? Lo kekurangan masalah ya sampe hobi banget nyari masalah?” ucapan Lira bagai senapan yang terus menembakkan peluru di depan wajah Arsen. “Gue yang pergi, atau lo yang pergi?” tanya Lira.
“Iya… Iya… gue pergi.” Arsen bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan Lira.
“Itu orang manusia apa harimau sih?
Jangan-jangan tadi pagi abis sarapan anak singa, lagi.” gumam Arsen sambil
berjalan ke meja kasir.
Arsen meletakan omnibook Move On
itu di meja kasir.
“Berapa Mbak?” tanyanya seraya
mengeluarkan dompet dari saku celana jinsnya.
~
Tunggu kelanjutannya ya!
Komentar
Posting Komentar