Miris: Finding Love [Chapter 4]

Hai, simak kelanjutannya ya!



“Eh, katanya besok alumni pada dateng ya?” tanya Ingga.
“Ngga tau, emang iya?” Dizi malah bertanya balik.
“Iya, angkatan 19.” Sheryl menyahut.
“19? Kita 22 ya? Berarti kita belum pernah lihat ya.” ucap Lira.
“Eh iya ya. Waktu kita kelas sepuluh, kelas dua belasnya angkatan 20 ya?” tanya Dizi yang sebenarnya tak perlu dijawab.
Saat jam pulang sekolah.
“Dizi, gue ngga bareng lo dulu ya. Gue mau ke rumah temen SMP gue soalnya.” ucap Sheryl.
“Oke. Lo pulang sama siapa Ra?” tanya Dizi.
“Om gue udah di depan sekolah. Ini hari terakhir dia jemput gue, besok dia udah harus balik lagi ke Balikpapan soalnya. Gue duluan ya, dia udah neleponin mulu nih kaya jomblo kesepian. Daah!” Lira langsun lari keluar sekolah.
“Ngga, lo gimana?” tanya Dizi.
“Erland juga udah di seberang. Lo balik sendiri dong?”
“Iyalah. Sama siapa lagi.”
“Yaudah, hati-hati ya lo. Gue sama Sheryl duluan ya. Daah Dizi.” Ingga dan Sheryl pamit.
Dizi berjalan menuju parkiran sendirian. Masih banyak motor di sini. Sesampainya di motor Dizi, ia malah kebingungan bagaimana cara mengeluarkan motornya dari himpitan motor-motor gede di sisi kanan-kirinya.
“Mas Aris mana sih ah?!” gerutu Dizi.
Dizi masih berusaha masuk melalui celah yang ada untuk mengeluarkan motornya.
“Kalo gitu caranya, yang ada motor di sebelah motor lo bakalan terbalik.” ucap seseorang yang sudah ada di belakang motor Dizi.
Dizi kaget. Padahal tadi tidak ada siapapun. Sekarang malah sosok bertubuh tinggi, berkulit putih dan berkacamata sudah ada di hadapannya.
“Kok Kak Dirly bisa di sini?” tanya Dizi.
“Ya bisa lah. Gue kan juga mau pulang. Minggir.” Kak Dirly mengusir Dizi dari posisinya.
Kak Dirly mengeluarkan motor gede di sisi kiri motor Dizi, lalu menarik keluar motor Dizi. Dan Kak Dirly memasukan motor gede itu ke tempatnya semula.
“Nih.”
“Makasih ya Kak. Motor Kakak yang mana? Katanya mau pulang?” tanya Dizi yang sudah duduk di jok motornya.
Dirly diam, seperti mengingat sesuatu. Lalu menepuk keningnya.
“Kenapa Kak?” tanya Dizi.
“Kakak lupa. Hari ini Kakak ngga bawa motor. Hahahahahaha!” malah jadi geli sendiri menertawakan dirinya sendiri.
“Belum tua kok udah pikun Kak. Terus Kakak baliknya gimana?”
“Ya naik angkutan umum paling. Atau ngga nyari tebengan.”
“Sama Dizi aja mau? Dizi tebengin.”
“Sampe mana? Nanti ngerepotin lo, Dek.”
“Sampe depan gerbang sekolah.” ucap Dizi sambil tertawa.
“Thanks, deh. Gue jalan aja kalo sampe depan gerbang mah.”
“Hahahahaha becanda Kak. Maunya sampe mana? Rumah Kakak di mana?”
“Di Trevista.”
“Oh, yang di pinggir jalan itu ya?”
“Kalo mau nebengin ngga pake ngehina berapa?”
“Hahahahaha. Yaudah ayo naik.”
“Ya masa lo yang bawa Diz?”
Dizi diam.
“Malah bengong. Keburu gue UN ini. Turun, Kakak yang bawa.” ucap Kak Dirly.
“Oh, yaudah nih Kak.” ucap Dizi.
Dizi tidak pernah membayangkan semotor dengan tutornya ini. Ceritakan ke Lira, Ingga, dan Sheryl tidak ya?
Ingga marah ngga ya kalau Dizi pulang bareng Kak Dirly? Ingga kan kagum sama Kak Dirly. Tapi kalau dipendam, rasanya ngga enak. Bagaimana ceritanya ya?
Keesokan harinya…
“JAM TUJUH KURANG LIMA BELAS?!”
Teriak Lira di kamarnya begitu Mamanya membangunkannya.
“Mama kenapa ngga bangunin Lira???” Lira bergegas menuju kamar mandi.
“Biasanya juga kamu pasang alarm. Lagian siapa suruh begadang sampe jam tiga pagi.” ucap Mamanya yang mungkin tidak akan Lira tanggapi.
Sepuluh menit kemudian.
“Lira berangkat ya, assalamualaikum.”
Tanpa didengar Mamanya, Lira langsung melesat dengan motor maticnya.
‘Semoga jalanan ngga macet.’ harapnya dalam hati.
Lira gelisah. Lampu warna merah beserta angkanya sedang berkedip. Detik di jam digital Lira, seakan kejar-kejaran dengan detik di lampu lalu lintas.
7.11. Lira makin panik.
“Mati deh kalo gerbang udah di tutup. Bisa-bisa susulan ulangan biologi deh nih.” gerutu Lira sembari menatapi angka yang bergerak mundur di lampu lalu lintas.
Lira kembali melesat dengan motornya. Kini gedung sekolahnya tinggal berjarak lima ratus meter lagi. Lira mengemudikan motornya hingga kecepatan enam puluh kilometer per-jam.
Motor Lira yang berada di belakang sebuah mobil berwarna putih, merasa terhalang dengan kesiapan mobil itu masuk.
“Ah, masih ada celah. Gue nyalip di kirinya aja deh biar ngga ketahuan Mas Deni.” gumam Lira saat Mas Deni—satpam sekolah menarik gerbang sekolah.
Tanpa Lira perhitungkan, motor Lira membuat gores di body pintu belakang mobil itu. Bahkan kaca spion motor Lira juga menabrak kaca spion mobil itu. Lira buru-buru berbelok ke kiri—parkiran motor.
“Woy!” teriak si pengemudi dari balik stir. “Ah, kacau.” gumamnya.
Mobil itu masuk dan mulai memosisikan di parkiran mobil. Seseorang turun dari mobil sambil membawa almamater warna kuning.
Parkiran mobil dan parkiran motor bersebrangan. Cowok ini yakin, pasti pemilik motor yang membuat goresan di mobilnya, memarkir motor sembarangan karena sudah telat masuk sekolah.
Dia memperhatikan motor matic yang terparkir sembarang yang posisinya tidak jauh begitu memasuki kawasan parkiran motor.
Ia juga mengingat warna motor tadi. Merah-hitam-putih. Ia lekat memperhatikan tiga huruf di nomor polisinya.
Lalu, ia masuk seraya mengenakan almamter.
“Lo kenapa telat? Untung tadi Bu Dini telat masuk kelas, kalo ngga, mungkin lo ngga akan ikut ulangan biologi, Ra.” ucap Sheryl begitu Lira sampai kelas dengan keadaan ngos-ngosan.
“Gue baru bangun jam tujuh kurang seperempat. Alarm gue ngga nyala ternyata, Mama juga baru bangunin jam segitu.” kata Lira seraya mengatur napasnya.
“Nih, minum dulu.” Ingga memberikan sebotol air mineral yang dibelinya tadi pagi, sebelum masuk ke kelas.
“Makasih, Ngga.” Lira meneguknya.
Tak lama, Bu Dini datang sambil membawa setumpuk kertas ulangan harian. Setelah baca doa dan tadarus, Bu Dian meminta menukar posisi duduk. Dalam satu barisan, yang duduk di sebelah kanan berdiri. Barisan satu bertukar dengan barisan tiga, dua dengan empat.
Memang selalu seperti ini setiap kali ulangan pelajaarannya Bu Dian. Untung saja Virgo duduknya di sebelah kiri, jadi ia tak harus duduk bersamanya. Lira duduk dengan Miga, teman sebangku Virgo.
Ulangan-pun dimulai. Waktunya 45 menit atau satu jam pelajaran. Bagi Lira, ini tidak terlalu rumit. Karena semalam rela begadang demi memperbaiki nilai biologinya. Ia tak mau dipanggil Bu Dian ke ruangannya lagi karena mendapat telor mata sapi di kertas ulangan hariannya yang bab lalu.
Empat puluh soal pilihan ganda berhasil diselesaikan Lira, meskipun ada beberapa nomor yang Lira tanyakan pada Ingga dan Miga.
Setelah mengumpulkan kertas ulangan…
“Kalian jam bebas ya. Soalnya Ibu mau ke aula, alumni datang untuk ngasih motivasi ke kelas 12-nya.” ucap Bu Dian.
Sebagian bersorak, sebagian bertanya.
“Bu, kita boleh ke aula juga ngga? Biar dapet motivasi juga.” tanya Ingga.
“Wooo.” sorak Miga.
“Kalian tahun depan. Udah ya, baca-baca aja deh. Masih ada dua puluh menit sampe pergantian pelajaran. Tapi kayanya Pak Aji juga ngga akan masuk deh, dia kan guru BK.” ucap Bu Dian.
“Oke, berarti kita kosong sampe istirahat!” ucap beberapa teman.
Semua kembali ke tempat duduk masing-masing.
“Eh, pada laper ngga sih?” tanya Lira.
“Laper.” jawab Dizi.
“Kapan sih lo ngga laper? Lo mah laper mulu.” ucap Sheryl.
Lira mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Gue colong aja roti sobek di meja makan, abis gue telat bangun jadi ngga sempet sarapan.” cerita Lira.
“Eh, buka dong.” ucap Dizi.
“Buka aja. Bagi empat.” kata Lira.
“Sejak kapan lo sarapan kalo mau ke sekolah?” tanya Sheryl.
“Sejak gue pindah rumah.” jawabnya seraya memasukan roti ke mulutnya.
“Eh, gue mau cerita deh!” antusias Ingga.
“Apa?” tanya Sheryl.
“Masa Kak Dirly semalem nge-pm gue kocak banget.” ucap Ingga.
“Jadi ngomongin Kak Dirly mulu nih semenjak doi tutor lo.” ucap Lira.
“Nih, baca deh.” Ingga memberikan ponselnya pada Sheryl dan Lira.
Ada yang membeku di situ.
“Busyeng, emotnya.” komen Lira.
“Lo naksir Kak Dirly, Ngga?” tanya Sheryl sambil tertawa membaca percakapan Ingga dengan Kak Dirly di whatsapp.
“Kalo ditanya suka sama senior, mungkin gue suka sama Kak Dirly. Tapi tetep, cuman Erland di hati.” jawab Ingga.
Lira menyadari hal yang aneh.
“Diz, kok lo diem aja sih?” tegur Lira.
“Engga kok, biasa aja.” jawab Dizi.
“Tau lo, lagi sakit gigi?” tanya Ingga.
“Eh,” gumam Sheryl. “Nanti sore atau pas pulang sekolah, bisa ngga ke rumah gue? Mama gue nyuruh kalian makan di warung makan yang baru di buka.” ucap Sheryl.
“Mama lo buka warung? Wah, asik dong!” girang Ingga.
“Iya, menunya baru dikit sih. Baru ada ayam kremes sama ayam pedes, terus tempe mendoan sama risol.” ucap Sheryl.
“Menu makan kocek anak kost-an?” tanya Lira.
“Iya.”
“Aduh, jangan sekarang deh. Gue ngga bisa.” ucap Dizi.
“Mau ke mana emang? So sibuk banget.” tukas Ingga.
“Iya dong, kan artis.” kata Dizi.
“Artis di balik layar, hahahahaha!” kata Ingga.
“Eh, serius, janan sekarang. Sabtu malem aja gimana? Besok malem.” ucap Dizi.
“Tapi kan Sabtu-nya masih masuk Diz.” kata Lira.
“Yaelah, Sabtu pelajarannya cuman olahraga sama PKN.” ucap Ingga.
“Oh iyaya. Yaudah, besok deh.”
Saat jam istirahat, Lira tidak langsung turun mengikuti ketiga temannya yang sudah menuju kantin. Lira harus menulis absensi terlebih dahulu karena harus diserahkan ke wali kelasnya. Dan Bu Rusmia—wali kelas XI IPA 2, sedang menunggunya di meja guru sambil mengobrol dengan anak didiknya yang sedang berada di dalam kelas.
Sepuluh menit Lira tersita oleh absensi,
“Nih, Bu. Udah selesai saya tulis.” Ucap Lira seraya menyerahkan buku absensi kelas kepada Bu Rusmia.
“Lain kali, absen langsung ditulis. Jangan kaya gini, udah sebulan baru diisi.” kata Bu Rusmia.
“Iya Bu, maaf.”
“Yaudah, kamu istirahat gih, makan dulu.”
“Yaudah, saya permisi ya Bu.”
Lira bergegas menuju kantin yang berada di lantai satu. Sedangkan kelasnya berada di lantai tiga.
“Alah, depan aula rame banget. Alumni kenapa nongkrong di situ sih ah, bikin macet aja.” gerutu Lira. Padahal, di lantai tiga hanya ada Lira yang sedang mengamati kawasan aula.
Lira menunduk sembari bilang permisi saat melewati aula yang dipadati warna-warni almamater. Memang, lewat tangga samping aula, adalah akses paling dekat menuju kantin dari pada harus lewat tangga depan.
Hampir di belokan tangga ke bawah, Lira harus mengikat tali sepatunya yang sudah tidak tersimpul. Ia menekuk lutut dan mengikatkan tali sepatu warna merahnya.
Jedug!
Sesaat Lira berdiri, seseorang baru saja muncul dari tangga. Cowok dihadapannya menahan sakit di dagunya, begitupun kepala Lira yang mengenai dagu seseorang di depannya.
“Ma… af Kak.” ucap Lira.
“Iya iya ngga papa.” kata seseorang yang membawa sebotol minuman coca-cola dan menyampirkan almet warna kuning di bahunya.
Lira turun menuju kantin.
“Lama amir lo.” kata Ingga.
“Tadi ngisi absen dulu.” jawab Lira.
“Bukannya emang iya?” tanya Sheryl.
“Iya. Terus tadi ada kejadian menyakitkan buat gue.”
“Hah?” ketiga temannya melongo.
“Tadi kan gue lagi ngiket tali sepatu, pas gue baerdiri, gue nyenggol dagu Kakak kelas, alumni gitu. Dagunya dia kesakitan, kepala gue juga sakit.”
“Lucu banget. Biasanya kalo di tv-tv, itu jodoh tuh.” celetuk Dizi.
“Lucu dari mana sih? Sakit iya!” kata Lira.
“Yaudah, lo ngga pesen makan? Makanan kita udah sampe abis nungguin lo.” kata Sheryl.
“Pesen minum aja deh.” Lira bangun untuk memesan minuman kopi-kopian kesukaannya.
Saat jam pulang sekolah, Lira, Dizi, Ingga, dan Sheryl berjalan menuju parkiran. Seseorang yang sudah duduk dibalik kemudi, memperhatikan satu diantara ke-empat siswi itu.
Ia memperhatikan siswi yang rambutnya diikat habis ke belakang. Bukan memperhatikan wajahnya, namun memperhatikan ransel bercorak kulit zebra yang berada di pundaknya.
“Kaya tas yang tadi nyenggol mobil gue. Eh, tapi pasti yang pake tas gituan bukan dia doang. Ngga boleh prasangka buruk ah.” ucapnya yang kemudian menyalakan mesin mobil, lalu pergi dari sekolah.
~
Tunggu kelanjutannya ya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]