Cerpen: A Secret [Part 2]
Next...
“Kalo lo udah selesai kuliah, lo telepon Mama aja. Tadi dia
bilang sama gue, dia mau ngajak lo jalan. Nanti gue nyusul.” ucap Lingga di
depan gedung fakultas.
Sheina mengangguk. Lalu berbalik badan untuk segera masuk.
Sheina berjalan menuju koridor, tiba-tiba, seseorang yang
bersandar pada pilar, menghampiri Sheina.
“Gimana kaki lo? Udah mendingan?” tanya Janu.
“Lumayan.” jawab Sheina.
“Lumayan.” jawab Sheina.
Lalu, Janu melangkah meninggalkan Sheina.
“Lo mau cabut lagi?” pertanyaan Sheina membuat Janu
menghentikan langkahnya.
“Kenapa? Mau ikut?” tawar Janu.
“Engga. Cuman nanya aja. Lo ngga takut cabut mulu?”
“Peduli banget sama gue.”
“Kenapa? Mau ikut?” tawar Janu.
“Engga. Cuman nanya aja. Lo ngga takut cabut mulu?”
“Peduli banget sama gue.”
Janu hendak melangkah, namun buru-buru ditarik oleh Sheina.
“Lo mabuk?! Motor mau lewat main jalan aja!” teriak Sheina.
Janu diam. Lirikannya turun ke tangan yang sedang digenggam
Sheina. Sheina yang sadar dengan lirikan itu, langsung melepas dan kemudian
pergi meninggalkan Janu.
Saat selesai jam kuliah, Sheina keluar dari ruangan. Begitu
sampai di depan pintu, seseorang menarik tangannya.
Sheina tidak mengerti dengan sikap Janu. Terlebih akhir-akhir
ini yang sering mendekati Sheina.
“Janu. Emang gue tambang ditarik-tarik?” tanya Sheina seraya
melepas tangan Janu.
“Duduk.” ucap Janu.
“Duduk.” ucap Janu.
Janu membawa Sheina ke kantin.
“Lo tuh kaku banget sih jadi orang. Mau ngajak gue makan
siang bareng aja gengsi.” ucap Sheina sambil senyum-senyum sendiri.
“Siapa yang mau ngajak lo makan siang bareng? Gue narik lo ke sini, karena gue mau minjem catetan mata kuliah sosiolinguistik.”
“Siapa yang mau ngajak lo makan siang bareng? Gue narik lo ke sini, karena gue mau minjem catetan mata kuliah sosiolinguistik.”
Sheina membuang napas, lalu membuka tas ransel bercorak kulit
zebra tersebut dan menaruh buku catatan yang Janu minta di atas meja.
“Sebelum gue kasih buku catetan ini ke lo, lo traktir gue es
krim sekarang.”
“Gue baru tau ternyata lo banyak mau.”
“Gue baru tau ternyata lo banyak mau.”
Janu bangun dari duduknya dan membelikan Sheina es krim
cornetto red velvet.
“Nih,” Janu memberikan es krim itu. “Mana sini bukunya.” Janu
meminta buku catatan Sheina.
“Makasih es krimnya. Daah, Janu.”
Sheina bangun dari duduknya, buru-buru pergi dan membawa buku
catatan yang ingin Janu pinjam. Janu baru sadar, ia baru saja dikerjai.
“Sheina! Bukunya!” Janu mengejar Sheina.
Sheina lari ke parkiran mobil. Ia bersandar di mobil Janu.
Sheina memegang buku catatannya di belakang punggungnya dengan tangan kirinya,
sedangkan tangan kanannya memegang es krim.
“Bukunya, Na.” pinta Janu.
“Sampe es krim gue abis dulu, baru gue kasih bukunya.” ucap Sheina dengan senyum jahil.
“Sampe es krim gue abis dulu, baru gue kasih bukunya.” ucap Sheina dengan senyum jahil.
Janu melangkah lebih dekat ke arah Sheina. Sheina tidak bisa
ke mana-mana lagi, tubuhnya sudah menyentuh pintu mobil Janu. Wajah mereka hanya
berjarak sejengkal. Sheina mengangkat es krimnya di depan jarak wajah yang
sudah kurang dari sejengkal.
Janu tertawa.
“Kenapa ketawa?” tanya Sheina.
“Segitu deg-degannya sampe hidung lo kena es krim terus lo ngga sadar?” ucap Janu seraya membersihkan es krim dari hidung Sheina.
“Segitu deg-degannya sampe hidung lo kena es krim terus lo ngga sadar?” ucap Janu seraya membersihkan es krim dari hidung Sheina.
Sheina diam melihat perlakuan Janu selagi mengusap hidungnya.
Setelah itu, Janu menginjak kaki Sheina.
“Januuuuu!!!” teriak Sheina.
Saat itulah Janu merebut buku catatan dari tangan Sheina.
“Dasar curang.” ucap Sheina. Janu malah tertawa.
Sheina masih berusaha merebut bukunya, namun genggaman tangan
Janu membuatnya tidak bergerak.
“Lo tuh bisa diem ngga sih? Jadi cewek ngga bisa diem
banget.” ucap Janu.
“Sheina?”
Sheina menoleh ke sumber suara yang memanggilnya.
“Tante Silvi? Tante kok ada di sini?” Sheina kaget dan
langsung melepas genggaman tangan Janu.
“Bisa-bisanya kamu mesra-mesraan sama cowok lain. Tante
kecewa sama kamu.”
“Tante, ini ngga kaya yang Tante liat. Tante, aku bisa jelasin.” ucap Sheina seraya mengejar wanita berkepala lima itu.
“Tante, ini ngga kaya yang Tante liat. Tante, aku bisa jelasin.” ucap Sheina seraya mengejar wanita berkepala lima itu.
“Tante—“
“Jauhi Lingga.”
“Jauhi Lingga.”
Ucapan terakhir Tante Silvi membuat Sheina tidak bisa berucap
lagi. Setelah itu, Tante Silvi pergi bersama mobilnya.
“Dia siapa, Na?” tanya Janu.
“Bukan siapa-siapa kok.” jawab Sheina.
“Bukan siapa-siapa kok.” jawab Sheina.
Keesokan harinya, Sheina menerima tawaran ajakan berangkat ke
kampus bersama Janu. Tapi, Sheina kaget bukan main saat mendapati Lingga sudah
ada di bangku taman dekat parkiran.
“Gue ke sana bentar.” ucap Sheina.
Baru saja Sheina ingin menghampiri Lingga, namun Lingga sudah
lebih dulu ada di belakang Sheina.
“Bisa-bisanya lo berangkat sama cowok lain? Na, lo itu—“ ucapan
Lingga diputus Janu.
“Terserah dia dong. Kenapa lo yang ribet?” tanya Janu.
“Nu, wajar gue marah kalo pacar gue berangkat ke kampus sama cowok lain.”
“Terserah dia dong. Kenapa lo yang ribet?” tanya Janu.
“Nu, wajar gue marah kalo pacar gue berangkat ke kampus sama cowok lain.”
Ucapan Lingga barusan membuat Janu menatap Sheina penuh
tanya. Sheina hanya melirik ke bawah tanpa berucap.
“Gue mau ngomong sama lo.” Lingga menggenggam tangan Sheina.
Tiba-tiba, Janu melepas genggaman tangan Lingga.
“Lo ngga punya jam? Ini udah masuk jam kuliah di kampus gue.
Jadi lo ajak Sheina ngobrolnya nanti aja, sepulang kuliah.” Janu menggenggam
tangan Sheina untuk masuk ke gedung kampus.
Tapi Lingga menarik Sheina dan mendorong bahu Janu.
“Lo ngga usah ikut campur urusan gue sama Sheina.” Lingga
langsung mengajak Sheina pergi dari situ.
Di tempat yang agak jauh dari keramaian, masih di kawasan
gedung fakultas kampus. Lingga dan Sheina duduk bersebelahan di bangku taman.
“Lo bikin gue kehabisan kata-kata, Na. Jadi sekarang lo udah
bisa deket sama Janu? Lo bener-bener bikin gue hancur berkali-kali, Na.” ucap
Lingga.
Sheina diam.
Lingga bangun dari duduknya dan memberikan Sheina sebuah
kertas lipat tebal berwarna cokelat.
Sheina membuka lipatannya.
Lingga
& Bunga
“Puas?!” teriak Lingga.
Sheina masih diam memperhatikan undangan pernikahan tersebut.
Tanggal yang ada di undangan itu, dua pekan setelah hari ini.
“Kenapa lo yakin banget kalo semua ini gara-gara gue?” tanya
Sheina.
“Lo masih bisa nanya kaya gitu setelah kemarin nyokap gue ngeliat lo mesra-mesraan sama Janu? Na, gue tau lo suka sama Janu. Dan gue minta bantuan lo ini atas dasar rasa sebagai temen. Tapi apa yang lo lakuin?” ucap Lingga.
“Lo masih bisa nanya kaya gitu setelah kemarin nyokap gue ngeliat lo mesra-mesraan sama Janu? Na, gue tau lo suka sama Janu. Dan gue minta bantuan lo ini atas dasar rasa sebagai temen. Tapi apa yang lo lakuin?” ucap Lingga.
Lingga masih berusaha menguasai diri dan mengontrol emosinya.
“Jangan dateng ke acara pernikahan gue nanti.” ucap Lingga
dengan sebuah tetesan dari matanya.
Sheina menggigit bibir bawahnya saat Lingga berbalik dan
meninggalkan Sheina.
“Maafin gue, Lingga.” ucap Sheina yang tidak akan pernah
Lingga dengar.
~
“Tadi Lingga ngomong apa sama lo?” tanya Janu.
“Bukan apa-apa kok.” jawab Sheina datar.
“Masa sih bukan apa-apa? Kalo bukan apa-apa, kenapa dia kayanya marah banget sama lo?”
“Bukan apa-apa kok.” jawab Sheina datar.
“Masa sih bukan apa-apa? Kalo bukan apa-apa, kenapa dia kayanya marah banget sama lo?”
Sheina menatap wajah Janu.
‘Janu udah berubah. Dia udah balik
jadi Janu yang dulu.’
benak Sheina.
“Kok lo malah bengong? Yaudah kalo ngga boleh tau, ngga
papa.” kata Janu.
“Dia cuman ngasih ini.” ucap Sheina seraya menunjukan undangan pernikahan Lingga.
“Lingga mau nikah?!” antusias Janu.
“Iya.”
“Dia cuman ngasih ini.” ucap Sheina seraya menunjukan undangan pernikahan Lingga.
“Lingga mau nikah?!” antusias Janu.
“Iya.”
Sheina menangkap seuntai senyuman di wajah Janu.
“Lo kenapa senyum-senyum?” tanya Sheina.
“Ngga papa.”
“Ngga papa.”
Sheina punya sebuah pertanyaan, namun ragu untuk ia tanyakan.
Bagaimana memulainya?
“Lo kenapa? Aneh gitu.” ucap Janu.
“Sebenernya gue mau nanya sama lo.”
“Nanya tinggal nanya.”
“Tapi lo jawab jujur.”
“Apa dulu pertanyaannya.”
“Lo sama Felly—“
“Udah ngga ada apa-apa.”
“Sebenernya gue mau nanya sama lo.”
“Nanya tinggal nanya.”
“Tapi lo jawab jujur.”
“Apa dulu pertanyaannya.”
“Lo sama Felly—“
“Udah ngga ada apa-apa.”
Sheina mengangguk-angguk mendengar jawaban singkat Janu.
“Lo dateng ke pernikahan Lingga? Secara, lo kan mantannya.”
tanya Janu.
“Engga, kayanya.”
“Kenapa? Sakit hati?”
“Engga juga.”
“Terus?”
“Kok lo sekarang jadi cerewet ya?”
“Oke, gue diem.”
“Engga, kayanya.”
“Kenapa? Sakit hati?”
“Engga juga.”
“Terus?”
“Kok lo sekarang jadi cerewet ya?”
“Oke, gue diem.”
~
Janu mengajak Sheina hangout.
Liburan semester kali ini, Janu menghabiskan tiga pekan dari sebulannya di
Surabaya, kampung halamannya. Makanya, hari ini Janu mengajak Sheina ke puncak.
“Mana oleh-oleh dari kampung halaman?” pinta Sheina saat
dalam perjalanan.
“Ada, Na. gue beliin banyak buat lo. Tenang aja.” ucap Janu.
“Serius? Apa aja?” antusias Sheina.
“Baju kotor.”
“Ada, Na. gue beliin banyak buat lo. Tenang aja.” ucap Janu.
“Serius? Apa aja?” antusias Sheina.
“Baju kotor.”
Sheina langsung mencibir. Membesarkan volume dari tape mobil Janu. Mengikuti Jessie J
menyanyikan lagu price tag.
Sedang asyik bernyanyi, Janu malah mematikan tape-nya.
“Kok dimatiin sih?” tanya Sheina.
“Ganggu konsentrasi tau.” jawab Janu.
“Ganggu konsentrasi tau.” jawab Janu.
Perjalanan mereka tidak terlalu lama. Hanya butuh kurang
lebih tiga jam untuk sampai di puncak pass. Mereka mampir ke beberapa toko dan
sejenak mengisi perut di salah satu restoran di sana.
“Janu? Sheina? Kalian…” tegur Felly yang berada di restoran
yang sama.
“Kita cuman jalan sebagai temen biasa kok Fell.” jawab Janu.
“Kita cuman jalan sebagai temen biasa kok Fell.” jawab Janu.
Sheina melirik Janu begitu mendengar jawaban dari mulut Janu.
“Makanya gue agak aneh. Gue pikir kalian ada sesuatu. Kalian
baru nyampe?” tanya Felly.
Felly, Sheina, dan Janu jadi duduk satu meja di restoran itu.
“Fell, lo ke sini sendirian?” tanya Sheina.
“Engga, gue ke sini sama keluarga gue. Liburan di villa keluarga aja. Sekarang lagi jalan-jalan aja sama sepupu, mereka di sana.” jawab Felly sambil menunjuk ke meja di ujung sana.
“Oh, bareng keluarga. Ngga sama pacar?” ledek Sheina.
“Kan pacarnya lagi jalan sama lo.” jawab Felly.
“Hah?” Sheina melirik Janu.
“Becanda, Na. Janu kan mantan gue, bukan pacar gue lagi. Hahaha. Janu kan sekarang—“
“Fell, gue sama Sheina duluan ya.” Janu mengajak Sheina pergi dari situ.
“Eh, yaudah deh. Hati-hati ya.”
“Engga, gue ke sini sama keluarga gue. Liburan di villa keluarga aja. Sekarang lagi jalan-jalan aja sama sepupu, mereka di sana.” jawab Felly sambil menunjuk ke meja di ujung sana.
“Oh, bareng keluarga. Ngga sama pacar?” ledek Sheina.
“Kan pacarnya lagi jalan sama lo.” jawab Felly.
“Hah?” Sheina melirik Janu.
“Becanda, Na. Janu kan mantan gue, bukan pacar gue lagi. Hahaha. Janu kan sekarang—“
“Fell, gue sama Sheina duluan ya.” Janu mengajak Sheina pergi dari situ.
“Eh, yaudah deh. Hati-hati ya.”
Janu menggandeng Sheina ssampai di depan mobil Janu, di
pinggir jalan.
“Buru-buru banget sih. Gue kan masih mau ngobrol sama Felly.”
ucap Sheina.
“Kabutnya udah mulai turun. Gue takut jalanan ngga keliatan kalo baliknya nanti-nanti.”
“Kabutnya udah mulai turun. Gue takut jalanan ngga keliatan kalo baliknya nanti-nanti.”
Mereka masuk ke dalam mobil. Sepertinya, perjalanan pulang
ini akan sangat panjang. Jalanan macet. Mungkin karena ini malam Minggu. Sudah
hampir jam sembilan malam, mereka masih di kawasan puncak.
Janu mengarahkan mobilnya ke SPBU.
“Lo tunggu sini bentar ya, gue mau ke toilet dulu.” ucap
Janu, Sheina mengangguk.
Ponsel Janu bergetar, layarnya menyala. Ada satu pesan masuk.
Sheina penasaran. Sheina bimbang antara membuka pesan tersebut atau membiarkan
hatinya penasaran.
Setelah mengumpulkan keberanian, Sheina menggamit ponsel
Janu. Sheina membuka lock ponsel
Janu. Untunglah ponsel Janu tidak diberi password.
Tiba-tiba…
“Lo ngapain buka message
di hape gue?” tanya Janu yang langsung mengambil ponsel yang sudah ada di
tangan Sheina.
Pesan singkat itu sudah terbuka, hanya tinggal Sheina baca.
Tapi, Janu keburu datang. Sesaat, Janu membaca pesan singkat itu.
“Gue cuman penasaran.” jawab Sheina.
“Nilai kesopanan lo D atau E? Lo pasti tau definisi privasi kan?” Janu bertanya dengan wajah penuh amarah.
“Nilai kesopanan lo D atau E? Lo pasti tau definisi privasi kan?” Janu bertanya dengan wajah penuh amarah.
Pertanyaan Janu sederhana, namun benar-benar sampai ke dasar
hati Sheina.
“Maaf, Nu. Gue ngga bermaksud.” ucap Sheina dalam
tundukannya.
Janu langsung menyalakan mesin mobil dan mulai mengendarai.
Mereka sampai Jakarta sekitar pukul setengah satu pagi. Janu mengantar Sheina
sampai depan rumah.
“Makasih ya. Hati-hati di jalan.” ucap Sheina. Janu
tersenyum.
Keesokan harinya, Janu benar-benar susah dihubungi. Whatsapp
dan pesan singkat yang Sheina kirim tidak juga Janu balas. Padahal, niatnya,
Sheina mau minta Janu temani ke toko buku.
Bahkan sampai hari kuliah pertama di semester baru, Janu
tidak juga membalas pesan Sheina. Hari pertama masuk, Sheina belum bertemu
Janu. Untunglah kegiatan hari pertama belum efektif, karena jadwal juga baru
ditempel di madding.
Tak lama dari itu, Janu datang.
“Kenapa ngeliatin gue begitu?” tanya Janu.
“Harusnya pertanyaan itu buat lo. Ke mana seminggu ini ngga ada kabar?”
“Ngga kemana-mana. Di rumah aja.”
“Kok muka lo kaya orang lagi banyak pikiran sih?”
“Emang iya. Muka-muka orang yang lagi memperjuangkan sesuatu.”
“Harusnya pertanyaan itu buat lo. Ke mana seminggu ini ngga ada kabar?”
“Ngga kemana-mana. Di rumah aja.”
“Kok muka lo kaya orang lagi banyak pikiran sih?”
“Emang iya. Muka-muka orang yang lagi memperjuangkan sesuatu.”
Setelah bicara begitu, Janu pergi meninggalkan Sheina yang
kebingungan.
Saat jam istirahat, Sheina menemui Janu yang sedang duduk
santai di taman.
“Nu, kenapasih diem terus? Cerita dong ke gue lo lagi banyak
pikiran kenapa.” ucap Sheina.
“Gue ngga papa, Na. Eh iya, lo udah makan? Ke kantin yuk.” ajak Janu.
“Beneran ngga papa?”
“Iya. Yaudah yuk ah.” Janu menggamit tangan Sheina.
“Gue ngga papa, Na. Eh iya, lo udah makan? Ke kantin yuk.” ajak Janu.
“Beneran ngga papa?”
“Iya. Yaudah yuk ah.” Janu menggamit tangan Sheina.
Saat makan di kantin, ponsel Janu tidak henti-hentinya
berdering.
“Kok ngga diangkat sih? Angkat aja, siapa tau penting.”
“Ngga penting kok. Udah, abisin aja makanannya.”
“Ngga penting kok. Udah, abisin aja makanannya.”
Selesai dari kantin, mereka berjalan menuju parkiran. Namun
sesuatu hal membuat Janu kaget setengah mati.
“Surpraise!” ucap seorang wanita yang mengenakan dress ngepas
seatas lutut sambil menenteng tas warna merah mentereng.
“Aku neleponin kamu kok ngga diangkat-angkat sih? Aku tuh mau
nanya kamu lagi ada di mana. Eh, aku liat mobil kamu. Jadi aku tunggu di sini
deh. Pulang yuk. Aku kangen Mama kamu.” wanita ini menggantungkan tangannya
dengan manja di tangan Janu.
Sheina menatap Janu. Mencari tau apa maksud semua ini.
“Nu, cewek ini siapa?” tanya Sheina.
“Lho, sayang, kamu ngga cerita sama temen kamu?” tanya gadis di samping Janu.
“Nu, jawab.” ucap Sheina.
“Lho, sayang, kamu ngga cerita sama temen kamu?” tanya gadis di samping Janu.
“Nu, jawab.” ucap Sheina.
Janu membuang napas.
“Nanti gue jelasin.” bisik Janu.
“Ayo pulang.” Janu menarik gadis itu ke mobilnya.
Sheina benar-benar penasaran, siapa wanita itu. Dua hari ini
Janu tidak masuk kuliah. Lagi-lagi susah dihubungi. Ada apa sebenarnya ini?
Sheina berjalan melalui jalur pejalan kaki untuk sampai
kampus. Jalanan cukup sepi dari lalu lalang orang lewat. Karena memang jam
masuk kuliah yang seharusnya sudah dimulai sejak satu jam yang lalu.
Sheina datang telat karena ia dapat kabar bahwa dosen mata
kuliah yang seharusnya dimulai setengah jam yang lalu, mengubah jadwal
dimundurkan satu jam.
“Aku bener-bener ngehargain keputusan kamu. Sebelum aku balik
ke Australia, boleh aku minta satu hal?”
“Apa?” tanya Janu.
“I want—“
“Apa?” tanya Janu.
“I want—“
Bibir Janu mendarat di pipi kanan gadis dihadapannya ini.
“Makasih kamu udah ngerti. Kamu hati-hati ya.” ucap Janu.
“For the last,” seseorang di depan Janu melakukan hal yang sama untuk Janu. “Aku pamit ya.” ucapnya dengan senyuman, lalu masuk ke mobilnya dan pergi meninggalkan Janu.
“For the last,” seseorang di depan Janu melakukan hal yang sama untuk Janu. “Aku pamit ya.” ucapnya dengan senyuman, lalu masuk ke mobilnya dan pergi meninggalkan Janu.
Janu memperhatikan mobil mantan kekasihnya melesat, hingga
pandangan mata Janu jatuh pada seseorang yang berjarak tiga setengah meter dari
tempat ia berdiri.
“Sheina?”
Janu berjalan ke arah Sheina. Juga Sheina yang berjalan ke
arah Janu. Saat langkah mereka semakin dekat, Sheina menepis tangan Janu begitu
Janu memegang tangan Sheina.
“Na, gue bisa jelasin.” ucap Janu sambil berusaha menyamakan
langkah Sheina.
“Udah jelas, Nu. Lo ngga perlu ngejelasin apa-apa.” ucap Sheina yang masih bisa mengontrol air matanya.
“Maafin gue karena gue ngga pernah cerita soal ini. Sejujurnya—“
“Lo ngga cerita tentang ini ke gue juga ngga salah kok. Karena pada dasarnya, kita ngga terikat apa-apa. Dan yang gue liat tadi,”
“Udah jelas, Nu. Lo ngga perlu ngejelasin apa-apa.” ucap Sheina yang masih bisa mengontrol air matanya.
“Maafin gue karena gue ngga pernah cerita soal ini. Sejujurnya—“
“Lo ngga cerita tentang ini ke gue juga ngga salah kok. Karena pada dasarnya, kita ngga terikat apa-apa. Dan yang gue liat tadi,”
Sheina menggantungkan ucapannya.
“Itu adegan romantis.” sesudah itu, Sheina pergi meninggalkan
Janu.
‘Gimanapun juga lo harus tau yang
sebenernya, Na.’
ucap Janu dalam benaknya.
Seperti biasa, Janu menunggu kelas Sheina bubar di depan
pintu. Tapi saat seluruh mahasiswa sudah keluar, Janu tidak menemukan Sheina.
Padahal Janu yakin, ini kelas mata kuliah Sheina.
Baru hendak melangkah, Janu mendengar sesuatu dari dalam
kelas. Hembusan napas seseorang setelah menangis.
“Harusnya gue sadar diri.” ucap Sheina yang menutupi wajahnya
dengan kedua tangannya.
“Aaaaaarggh!” Sheina menangis dalam lipatan tangannya di atas
meja.
Sheina menendang meja yang ada di depannya sebelum memutuskan
untuk keluar dari ruang kelas.
Begitu sampai di bibir pintu, seseorang memeluknya erat.
“Jangan nangis lagi ya. Kalo lo nangis, lo bikin gue
khawatir.” ucap Janu.
“Basi, Nu. Omongan lo basi.” Ucap Sheina dengan suara parau ditengah tangisannya.
“Jauh sebelum gue jadian sama Felly dan Elisa, gue udah lebih dulu jatuh cinta sama lo.”
“Basi, Nu. Omongan lo basi.” Ucap Sheina dengan suara parau ditengah tangisannya.
“Jauh sebelum gue jadian sama Felly dan Elisa, gue udah lebih dulu jatuh cinta sama lo.”
Sheina melepas pelukan Janu.
“Kali ini lo harus belajar untuk meyakinkan seseorang percaya
sama ucapan lo.” ucap Sheina.
“Sikap gue yang dingin ke lo adalah ungkapan perasaan gue waktu gue tau lo jadian sama Lingga. Gue jatuh cinta sama lo sebelum Lingga kenal lo. Gue yang lebih dulu kenal sama lo. Tapi semenjak lo jadi anggota OSIS, lo mulai deket sama Lingga.”
“Sikap gue yang dingin ke lo adalah ungkapan perasaan gue waktu gue tau lo jadian sama Lingga. Gue jatuh cinta sama lo sebelum Lingga kenal lo. Gue yang lebih dulu kenal sama lo. Tapi semenjak lo jadi anggota OSIS, lo mulai deket sama Lingga.”
Sheina diam mendengar pengakuan Janu.
“Gue kuliah di sini, bukan karena jalur undangan kaya lo. Gue
bener-bener berusaha untuk dapetin ini semua, supaya gue tetep deket sama lo.”
Sheina menghapus air matanya.
“Na, gue ngga pernah jatuh cinta sedalam-dalamnya ke
siapapun, kecuali lo. Dan perasaan gue, pertama kalinya dimiliki seseorang. Lo.”
Sheina memeluk Janu.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar