Cerpen: Setelah Bait Pertama



Jalanan setapak yang basah karena hujan siang tadi, membuat siapapun yang melewatinya harus berhati-hati.
Pemilik kaki yang setiap sore melewati jalanan ini di bawah pepohonan yang teduh di kiri-kanannya, sore ini, berhenti sebentar di depan sebuah pohon.
Bukan untuk memperhatikan pohonnya, namun ia mulai melangkah melewati semak-semak. Setelah melewati semak-semak, ia berdiri di depan sungai yang memanjang dihadapannya.
Ia selalu melakukan ini sepulang sekolah, sejak satu tahun yang lalu. Menunggu senja habis dan bertemu bintang.
Begitu adzan berkumandang, ia langsung bangun dan pergi dari situ. Ia sadar, kedua orang tua dan kakak perempuannya pasti sedang menunggunya.
Vina masuk tanpa mengucap salam. Padahal, kedua orang tuanya sedang berada di halaman depan rumahnya.
Vina membuka pintu kamarnya. Kakak Vina—Reva namanya—baru saja keluar dari kamarnya yang kebetulan bersebelahan dengan kamar Vina.
“Vi? Ngga papa?” tanya Reva.
Vina hanya menggeleng, lalu masuk ke kamarnya.
“Ini udah hari ke tiga ratus enam puluh lima. Kenapa lo ngga nemuin gue? Gue bener-bener dateng ke depan sungai itu setiap hari selama pulang sekolah. Lo bohong!” gumam Vina.
Berkali-kali Vina mencoba menghilangkan bayangan wajah laki-laki yang sangat ia cintai. Tapi semakin Vina bersikeras melupakan, justru seseorang itu selalu terus berada di kepala Vina.
Keesokan harinya begitu Vina sampai di sekolah, seseorang langsung menyamakan langkah Vina dan menggenggam tangan Vina.
“Kenapa sih? Diem aja dari kemarin.”
“Aku ngga papa, Bal. Emang muka aku kelihatan kenapa-napa ya?”
“Iya. Aku khawatir.”
Vina menyunggingkan bibirnya, menghentikan langkahnya.
“Aku baik-baik aja, Iqbal. Ngga ada yang harus kamu khawatirin.”
Laki-laki yang sedari tadi menggenggam tangan Vina, melepasnya lalu merangkul Vina.
“Kalo gitu, pulang sekolah nanti kita ke toko buku. Aku mau lihat-lihat buku ujian nasional. Kamu juga harus serius belajar, biar kita masuk kampus yang sama nanti.” ucap Iqbal diselingi senyumnya.
“Kamu mau kuliah di mana emangnya?” tanya Vina yang memegang tangan Iqbal yang ada di pundaknya.
Iqbal ber-hm.
“Kamu di mana? Aku mau satu kampus sama kamu.”
“Ah, ngga punya pendirian. Harus punya cita-cita, dong!”
“Ya kan cita-cita aku, kamu Vi.”
Vina memandang Iqbal seolah menyiratkan “Apaan sih lo?!”
Iqbal tersenyum. “Yaudah bahasnya nanti aja. Sekarang kita masuk kelas aja yuk.”
Mereka berjalan ke kelas mereka. Memasuki ruangan dengan papan kecil berwarna putih bertuliskan “XII IPA 1” di kepala pintu.
Vina benar-benar berusaha keras memecahkan soal fisika yang sedang Bu Titin jelaskan. Bahkan rambut yang ia ikat habis mulai berantakan. Mungkin karena frustasi.
Iqbal yang duduk di barisan sebelah barisan Vina, memperhatikan hati yang telah dimilikinya sejak delapan bulan yang lalu. Tersenyum sambil memperhatikan Vina kebingungan mengerjakan soal fisika.
“Vina cantik ya Bal?”
“Cantik banget.”
“Bagus ya, yang lain mengerjakan soal yang ibu kasih, kamu malah asyik ngelihatin Vina.” Bu Titin yang sedari tadi disebelah Iqbal, menjewer telinga Iqbal sampai pandangan Iqbal jadi beralih ke gurunya tersebut.
“Bu ampun, bu. Sakit, bu.” rintih Iqbal.
Vina tersenyum melihat kelakuan kekasihnya.
Saat bel istirahat, Iqbal langsung mengajak Vina keluar kelas. Berjalan bersama di koridor lantai dua sambil memperhatikan beberapa siswa yang sedang asyik di lapangan.
“Bal, adik kelas kamu tuh! Hahahaha.” ledek Vina sambil menunjuk siswi kelas sebelas yang sedang berfoto-ria di tengah lapangan.
“Rese lo dare-nya bikin malu!” teriaknya setelah seorang teman selesai mengabadikan dirinya dalam sebuah ponsel.
Kemudian, seseorang temannya berbisik padanya. Tak lama, ia menoleh ke arah Vina dan Iqbal. Lalu memasang wajah bete.
“Adik kelas kamu juga, Vi.” kata Iqbal.
“Tadi ngelihatin kamu tuh. Ciye.” goda Vina.
“Aku ngga mau flashback ya. Udah yuk ah ke kelas.” kata Iqbal.
Vina diam. Satu kata yang Iqbal ucapkan, mampu menarik seseorang yang terkubur dalam di pikiran Vina.
Iqbal yang sadar bahwa Vina masih diam di tempat, langsung berbalik dan berdiri di hadapan Vina.
“Aku bikin kamu keinget mantan kamu ya?” tanya Iqbal.
“Sedikit.” Vina tersenyum ragu.
“Yaudah yuk ke kelas.”
~
“Aku nyariin kamu, taunya kamu di sini. Baca apa sih?” tanya Iqbal.
“Novel. Kamu udah dapet bukunya?” ucap Vina.
“Kamu tuh ya, udah mau UN masih juga nyari novel. Udah nih, tinggal bayar.” kata Iqbal.
Vina hanya tersenyum sambil menampakan gigi kelincinya.
Selesai dari toko buku, mereka pergi ke tempat makan. Seperti biasa kalau mereka pergi ke tempat makan, selalu Vina yang menentukan tempat. Kali ini, mereka makan di tempat Roti Bakar yang berada di seberang toko buku.
“Tumben roti bakar.” celetuk Iqbal seselesai memarkir motor.
“Lagi ngidam.” jawab Vina, asal.
“Vi, kamu…” Iqbal menarik tangan Vina.
“Apa?” Vina benar-benar tidak paham.
“Sama siapa?” tanya Iqbal dengan tatapan marah.
“Apaan sih! Macem-macem banget mikirnya, aku cuman bercanda!” Vina menepak kepala Iqbal dengan sekantong buku novel dan buku kumpulan soal UN milik Iqbal.
Iqbal hanya tersenyum. Padahal ia sedang menggoda Vina. Namun baginya, Vina terlihat begitu cantik kalau sedang memasang tampang kesal dan jutek.
Seporsi roti bakar cokelat-keju dan roti bakar selai kacang-cokelat sudah tersedia di meja nomor tiga, juga segelas es teh manis dan es cokelat.
“Kamu ngga takut gendut?” tanya Iqbal melihat Vina menelan makanan dan minuman manis dengan ikhlas.
“Kamu ngga suka ya kalo aku gendut?” Vina balik bertanya.
“Ngga, bukannya gitu. Gimanapun kamu, aku suka kok. Serius deh.” Iqbal menjawabnya dengan gugup.
“Masa sih?”
“Iya. Masa aku bohong.”
Vina tersenyum sambil mengunyah roti bakarnya.
Iqbal mengantar Vina pulang. Baru saja sampai di ujung jalan, Vina meminta Iqbal menghentikan sepeda motornya.
“Sampe sini aja, Bal.” Vina turun dari motor Iqbal.
“Aku pikir kamu lupa. Kenapa sih sampe sini? Kan dikit lagi juga nyampe, tanggung banget.” protes Iqbal.
“Ngga papa. Aku jalan ya. Daah!”
Walaupun gerimis mulai turun, Vina masih tetap ingin ke tempat itu. Ke tempat di mana terakhir kalinya Vina bertemu seseorang. Seseorang yang meminta untuk melangkah masing-masing dan berjanji akan menjelaskan keputusannya suatu hari nanti. Tapi sampai hari ini, seseorang itu tak juga datang.
Hari-hari Vina selalu dihantui masa lalu yang masih berhutang janji padanya. Entah siapa yang paling jahat dalam cerita cintanya.
Sepengetahuan Vina, Iqbal tau tentang ini. Namun Iqbal terlampau baik saat bilang cinta dan akan tetap menunggu Vina.
Akhirnya, Vina menerima Iqbal. Mungkin akan cepat melupakan mantan kekasihnya jika ada seseorang yang baru, pikir Vina.
Tapi salah. Vina masih belum bisa melupakan mantan kekasihnya. Tamparan yang teramat sakit saat mengetahui hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan dia.
Hari ini Vina memutuskan, bahwa hari ini harus jadi hari yang terakhir Vina menunggunya. Duduk di atas rumput sambil memandangi senja di bawah deras hujan.
Vina tak tau, sudah berapa tetes air mata yang jatuh. Vina merasa pelupuknya berat dan matanya hangat.
Vina memeluk lututnya. Makin deras hujan yang turun, begitu juga air matanya, semakin deras jatuh bersama air hujan yang membasahi tubuhnya.
Keesokan harinya begitu sampai sekolah, kepala Vina terasa berat. Bahkan ia bersandar pada dinding sebentar, memijat kepala dan memejamkan matanya.
Tak lama, Iqbal yang baru datang dan menemukan keadaan Vina seperti itu, langsung membawa Vina ke ruang UKS. Saat itu, Vina sudah dalam keadaan tidak sadar.
Aroma minyak kayu putih menembus rongga hidung Vina hingga membuatnya harus terbangun dan seketika memegangi kepalanya sambil mengaduh.
“Kamu udah sadar?” tanya Iqbal.
“Aku di mana?”
“Kamu di UKS.”
“Bal? Sekarang jam berapa?”
“Jam dinding di atas kepala kamu.”
Vina membalikan kepalanya sambil melirik jam di dinding.
“Kamu kok di sini? Kamu ngga masuk kelas?”
“Aku mau nemenin kamu.”
“Kamu masuk kelas aja. Aku ngga papa kok di sini sendiri.”
“Yaudah. Aku ke kelas ya.”
Vina mengangguk.
“Iqbal ngga kaya biasanya.” gumam Vina begitu Iqbal keluar dari ruang UKS.
Begitu bel istirahat kedua berbunyi, Vina memutuskan untuk masuk ke kelas. Karena pelajaran setelah istirahat kedua adalah kimia.
Sesampainya di depan kelas, Iqbal baru saja keluar dari kelas.
“Kamu kok ngga nunggu aku dulu?” Iqbal langsung memegang tangan Vina.
‘Syukurlah, Iqbal ngga berubah.’ benak Vina.
“Aku udah sehat, Bal. kamu mau ke mana?”
“Aku baru aja mau nyamperin kamu ke UKS. Yaudah yuk masuk ke kelas.” ucap Iqbal.
Iqbal duduk di samping Vina sambil memainkan ponselnya. Vina sedikit aneh melihat kejadian di depan matanya. Tak biasanya Iqbal asyik memainkan ponselnya kalau sedang bersama Vina.
“Kamu lagi ngapain sih? Kayaknya seru banget.” ucap Vina.
“Engga kok. Ngga lagi ngapa-ngapain. Aku ke mejaku ya.” Iqbal berdiri, tapi Vina menarik tangannya, memaksa Iqbal untuk duduk kembali.
Iqbal duduk dengan pandangan lurus ke depan.
“Kamu kenapa sih?” tanya Vina.
“Aku lagi kenapa-napa. Tapi kayanya ngga perlu dibahas.” jawab Iqbal.
“Perlu. Karena aku pacar kamu.”
Iqbal diam dan memikirkan sesuatu. Merangkai kata dalam otak untuk menyampaikan maksud pada Vina.
“Sampai detik ini, kamu masih belum lupain mantan kamu,” ucap Iqbal.
Sekarang giliran Vina yang diam.
“Kamu masih nunggu dia buat dateng. Kamu manggil-manggil namanya pas di UKS tadi.”
“Bal. Aku bener-bener lagi berusaha lupain dia. Bahkan aku janji sama diri aku sendiri untuk ngga dateng lagi ke tempat itu. Aku juga cape, Bal. Tapi kamu tenang aja, aku pasti lupain semua kenangan aku sama dia. Pasti cuman ada kamu di hidup aku. Aku pastiin itu.” jelas Vina dengan mata berkaca-kaca.
Untungnya saat itu keadaan kelas sedang sepi. Iqbal membawa kepala Vina dalam pundaknya.
“Maafin aku, Vi.” ucap Iqbal.
“Kamu ngga salah, Bal.” ucap Vina.
~
Sore ini, Vina mengizinkan Iqbal menjemputnya di rumahnya. Iqbal meminta Vina untuk mau diantar ke tempat les. Mengetahui sebulan menjelang ujian nasional, Vina harus lebih giat lagi belajar agar mendapat universitas impiannya, bersama Iqbal.
Saat Iqbal menunggu Vina di ruang tamu, ibu Vina menghampiri dan mengajak Iqbal ngobrol.
“Sore, tante.” sapa Iqbal sambil mencium tangan ibu Vina.
“Sore. Kamu teman dekatnya Vina?”
“I—Iya tante.”
“Tante pikir kamu pacarnya Vina. Soalnya Vina pernah bilang, kalo dia sama pacarnya itu el-de-er ya? Atau apa namanya tante lupa. Jarak jauh lah pokoknya.”
“Ooh, gitu ya tante? Di Jogja ya?”
“Iya, di Jogja. Udah mau dua tahun mereka pacaran. Awet ya.” cerita ibu Vina sambil tersenyum.
Tiga menit kemudian, Vina turun dari lantai dua.
“Eh, ada ibu,” Vina kaget melihat ibunya ada di ruang tamu. “Yaudah yuk Bal berangkat. Bu, Vina berangkat les dulu ya. Assalamualaikum.” pamit Vina dan kemudian menggandeng Iqbal keluar.
Iqbal diam sepanjang jalan mengantar Vina ke tempat les. Omongan Vina pun hanya menjadi angin lalu bagi Iqbal.
Sesampainya di depan tempat les, Iqbal hendak berlalu tanpa mengucap apapun.
“Bal,” Vina memanggil Iqbal. “Jam delapan jemput aku di sini ya.” ucap Vina. Tapi Iqbal langsung pergi dari situ, tanpa iya atau tidak yang terucap ketika Vina memintanya menjemput.
Vina mengikuti les seperti biasanya, juga jam pulang les yang seperti biasanya. Jam delapan kurang sepuluh menit, Vina sudah menunggu Iqbal di depan gedung berlantai tiga—tempat lesnya.
Hampir setengah jam menunggu, Iqbal tak juga datang. Vina menghubungi Iqbal, tapi nomornya tidak aktif. Satu jam menunggu. Hari sudah semakin larut, bahkan Vina sudah diteleponi ayahnya.
Sekali lagi Vina menelepon Iqbal. Kali ini tersambung, tapi Iqbal membiarkan ponselnya hanya berdering saja, tanpa menjawab panggilan kekasihnya.
Lagi, melewati jalan setapak di tengah gelap. Lagi-lagi kakinya hendak menerobos semak-semak. Namun ia urungkan mengingat seseorang yang sudah menemaninya selama sembilan bulan lebih ini.
Keesokan harinya saat sampai sekolah, Vina menarik Iqbal keluar kelas. Mencari tempat yang nyaman untuk bicara berdua.
Iqbal yang ditarik tangannya tak memberontak. Hingga sampailah mereka di depan gudang sekolah, lantai satu.
“Kamu tuh keterlaluan banget ya. Aku nungguin kamu di depan tempat les selama satu jam. Kamu tuh ke mana sih?! Minimal kalo ngga mau jemput, kasih kabar ke aku! Teleponku juga kamu kacangin!” semprot Vina.
Iqbal diam.
“Kamu jangan diem aja ya. Sekarang aku tanya, kenapa semalem kamu ngga jemput aku dan ngga angkat telepon aku?” tanya Vina.
Iqbal masih tetap diam.
“Kayanya, sepulang sekolah kemarin kita baik-baik aja. Kamu diemin aku pas nganterin aku les. Ibu ngomong apa sih ke kamu sampe kamu diemin aku gini?” Vina tak putus asa.
Iqbal masih juga diam.
“Bal, kita pacaran udah hampir sepuluh bulan. Bukan sebulan dua bulan yang dikit-dikit berantem dikit-dikit mesra-mesraan. Kamu—“
“Kalo gitu, sepuluh bulan lama menurut kamu?” tanya Iqbal.
“Yaiyalah!”
“Dan ibu kamu bilang aku teman dekat kamu?”
“Ya cara orang tua kan beda-beda untuk nyebut laki-laki yang dekat sama anak pe—“
“Tapi ibu kamu juga bilang kalo kamu lagi ngejalanin hubungan LDR sama pacar kamu,”
Vina kaget mendengar ucapan Iqbal.
“Pacar kamu yang sekarang ada di Jogja.” ucap Iqbal.
Vina menggigit bibir bawahnya, matanya menerawang ke bawah.
“Sekarang kamu yang diam.”
“Ibu ngga tau kalo kamu pacar aku. Ibu taunya aku masih pacaran sama—“
“Aku segitu rendahnya di mata kamu? Sekarang aku baru ngerti kenapa ngga pernah boleh nganterin atau jemput kamu di rumah, dulu.”
“Bal…” ucap Vina dengan pelupuk yang sudah berat.
“Berarti kamu bohongin aku.”
“Percaya sama aku, Bal. Aku udah ngga ada hubungan apa-apa sama mantan aku.”
“Lakuin apa yang mau kamu lakuin, Vi.” ucap Iqbal yang kemudian membiarkan Vina sendiri dengan air matanya.
“Aku bener-bener mati-matian ngelupain dia demi kamu, Bal. Kenapa kamu ngga percaya sama aku…” gumam Vina.
Iqbal melangkah meninggalkan Vina bukan tanpa pikiran kosong. Otaknya masih berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya.
“Sore. Kamu teman dekatnya Vina?”
“I—Iya tante.”
“Tante pikir kamu pacarnya Vina. Soalnya Vina pernah bilang, kalo dia sama pacarnya itu el-de-er ya? Atau apa namanya tante lupa. Jarak jauh lah pokoknya.”
“Ooh, gitu ya tante? Di Jogja ya?”
“Iya, di Jogja. Udah mau dua tahun mereka pacaran. Awet ya.”
Percakapannya dengan ibunya Vina masih terngiang di kepala Iqbal. Apa benar Vina masih ada hubungan dengan mantan kekasihnya yang sekarang tinggal di Jogja, seperti yang ibunya Vina katakan?
Atau memang Vina sudah tidak ada apa-apa dengan mantan kekasihnya seperti yang ia bilang tadi? Apa benar Vina benar-benar sudah melupakan mantan kekasihnya itu?
Entahlah. Untuk saat ini, Iqbal masih ingin menjauhi diri dari Vina.
~
Hubungan Vina dan Iqbal masih renggang, bahkan sampai hari ini, hari terakhir ujian nasional. Untung saja, Revina atau Vina berbeda ruangan dengan Iqbal.
Selama ini, Vina selalu mencoba menjelaskan pada Iqbal. Iqbal tidak membantah, bahkan mendengarkan, namun ia tetap diam.
Sampai Vina memutuskan untuk konsentrasi pada ujian nasionalnya dulu. Setelah itu, hari ini, ia akan menemui Iqbal di ruangannya.
Iqbal masih duduk di kursi ujiannya, memainkan ponselnya. Vina memberanikan diri untuk berdiri di hadapan Iqbal.
“Bal…” sapa Vina.
Iqbal menatap Vina.
“Aku—“
Omongan Vina terputus, lalu Iqbal memeluk Vina.
“Aku yang salah. Aku yang harusnya minta maaf. Vi, aku bener-bener minta maaf, maafin aku, ngga seharusnya aku bersikap gitu ke kamu.” ucap Iqbal.
“Emang aku yang salah, Bal, bukan kamu.” kata Vina.
“Aku sayang banget Vi sama kamu.” ucap Iqbal.
“Aku juga.” dalam pelukan Iqbal, Vina tersenyum.
Vina rasa, ia mulai bisa merelakan masa lalunya dan menyayangi Iqbal sepenuhnya. Dan menurutnya, ia benar-benar tidak lagi menunggu mantan kekasihnya datang untuk menjelaskan keputusannya dulu.
Liburan ini, Vina jadi sering bermain bersama Iqbal. Belajar bersama untuk mengikuti jalur tes masuk perguruan tinggi apabila jalur undangan tidak diterima.
Vina berpikir, kenapa tidak dari dulu saja ia menyayangi Iqbal sepenuhnya seperti sekarang? Vina merasa ‘punya kembali’ sesuatu yang telah lama hilang.
Saat berjalan menuju rumah Vina, Iqbal tak sedetikpun melepas genggaman tangan Vina. Mereka berjalan bersama melewati jalan setapak menuju rumah Vina. Iqbal membiarkan Vina berjalan di depannya.
Di langkah berikutnya, ada sesuatu yang membuat Vina berhenti. Dan Iqbal pun ikut berhenti seraya melihat apa yang Vina lihat yang sekarang ada dihadapannya.
“Dio?”
Seseorang yang sudah berhasil Vina lupakan, hari ini ada di depannya, tersenyum melihat Vina. Lalu, dia memeluk Vina tanpa peduli siapa yang ada di belakang Vina.
“Aku kangen banget sama kamu, Vi.” dengan erat Dio menarik tubuh Vina ke dalam pelukannya hingga genggaman tangan Iqbal terlepas.
Vina seakan membeku berada dalam pelukan seseorang yang sudah dingin. Pelukannya tak sehangat dulu. Hanya air mata yang terasa hangat di pipi Vina saat ini.
“Aku mau jelasin semuanya ke kamu,” ucap Dio yang melepas pelukannya. “Kamu kok nangis? Aku udah di sini Vi, aku kembali untuk kamu.” ucap Dio.
“Aku pikir kamu ngga akan ke Jakarta lagi. Bahkan aku udah nyerah untuk dateng ke tempat terakhir kita ketemu dulu cuman untuk nunggu kamu. Aku udah kehabisan alasan buat nunggu kamu.” jelas Vina.
Ada hati yang benar-benar terkejut mendengar ucapan Vina barusan. Ini benar-benar pernyataan paling menyakitkan baginya. Namun ia berusaha diam untuk mendengar kelanjutan yang akan terucap dari bibir Vina.
“Maafin aku. Maafin aku baru dateng hari ini. Udah ngebuat kamu nunggu selama itu, dan ngebiarin kamu selalu dateng ke tepi sungai demi nunggu kedatangan aku. Tapi Vi, sekarang aku bener-bener dateng. Aku bener-bener ada di sini buat kamu.” jelas Dio.
“Iya. Sekarang kamu bener-bener di sini. Kamu di sini buat aku kan?” ucap Vina dengan suara bergetar.
“Iya. Aku di sini buat kamu. Aku janji ngga akan pergi lagi.” Dio memeluk Vina erat.
Sekarang, hanya tinggal mereka berdua di situ.
~
Vina gelisah menunggu seseorang pulang di depan rumahnya. Mondar-mandir di depan gerbang rumah Iqbal. Semalaman Iqbal tidak ada kabar dan tidak bisa dihubungi. Vina tau, ini pasti ulahnya yang terlihat bernostalgia dengan Dio.
Sesekali Vina memijat kaki dan tangannya. Ia kelelahan karena dari semalam tidak bisa tidur, khawatir dengan Iqbal yang menghilang sejak pertemuannya dengan Dio.
Beberapa menit kemudian, motor Iqbal berhenti di depan rumahnya. Sempat ingin pergi lagi begitu melihat Vina berdiri di situ. Tapi Vina terlanjur menahan Iqbal.
“Aku mau jelasin sesuatu ke kamu.”
“Aku ngga perlu dengerin penjelasan kamu. Mending sekarang kamu pulang, ini udah mau hujan.” Iqbal turun dari motornya dan hendak membuka gerbang rumahnya.
“Tapi aku harus ngejelasin ke kamu, Bal.”
“Cukup, Vi!” Iqbal menepis tangan Vina.
“Aku ngga peduli kamu mau peduli sama aku atau engga sekarang ini. Tapi aku mau kamu dengerin aku.” ucap Vina berlinangan air mata.
“Aku juga ngga peduli.”
Iqbal masuk ke rumahnya, sedangkan Vina masih berdiri di depan gerbang rumah Iqbal. Hujan sudah mulai deras, tapi Vina masih juga berdiri disitu.
Baru saja Iqbal menutup pintu kamarnya.
“Kelakuannya selalu bikin gue khawatir.” ucapnya.
Ketika petir mulai menyambar dan deras hujan terdengar keras, “Vina!” Iqbal langsung keluar rumahnya. Namun tidak ada siapapun di sana.
“Vina pulang dalam keadaan hujan sederas ini? Dia bodoh atau gila sih!” Iqbal langsung masuk dan mengambil kunci mobil.
Iqbal menelusuri jalanan komplek rumahnya. Sudah tiga blok tapi Vina tidak juga ketemu. Langkahnya tak mungkin secepat itu.
Iqbal menghentikan mobilnya begitu melihat seseorang di bawah pohon sambil memeluk tubuhnya dan menunduk. Iqbal mengarahkan mobilnya ke pinggir jalan dekat pohon itu.
Iqbal turun dan menghampiri Vina di bawah payung. Air matanya deras seperti hujan sore ini.
“Ikut aku.” Iqbal menggenggam tangan Vina.
“Iqbal?” gumamnya dengan wajah pucat dan kedinginan.
~
“Kamu tuh nekat ya. Deres gini maksain jalan.” ucap Iqbal begitu sampai di rumahnya.
“Aku pasti disangka maling kalo tetep berdiri di depan pager rumah kamu.” ucap Vina dengan nada bergetar.
“Diminum susu hangatnya.”
Setelah satu tegukan, Vina mencoba menghangatkan telapak tangannya dengan gelas yang masih berada di genggamannya.
“Lebih hangat kaya gini.” Iqbal mengambil gelas yang Vina genggam, menaruhnya di atas meja, lalu kedua tangan Vina digenggam Iqbal dan sesekali Iqbal meniupnya untuk menghangatkan. Atau Iqbal menaruh kedua tangan Vina di kedua pipinya.
“Hangat kan?” tanya Iqbal. Vina mengangguk.
“Bal.”
“Hem?”
“Kenapa kemarin kamu langsung pergi?”
“Coba kamu di posisi aku, Vi.”
“Kamu harus tau satu hal.”
“Iya. Sekarang kamu bener-bener di sini. Kamu di sini buat aku kan?” ucap Vina dengan suara bergetar.
“Iya. Aku di sini buat kamu. Aku janji ngga akan pergi lagi.” Dio memeluk Vina erat.
Vina melepas pelukan Dio.
“Tapi maafin aku, Dio. Aku udah memutuskan untuk berhenti nunggu kamu. Udah ada seseorang yang ada di hati aku semenjak kampu pergi.”
Vina menoleh ke belakang, tapi sudah tidak ada siapapun.
“Cowok yang tadi sama kamu?”
“Iya. Iqbal. Maafin aku.”
Dio tertunduk.
“Aku terlambat.”
“Kamu ngga perlu ngejelasin kenapa dulu kamu mutusin aku. Karena sekarang, aku ngga butuh alasan apapun dari kamu. Kita memang udah seharusnya jalan masing-masing. Bait kita udah selesai, Dio.”
“Kamu ngga ngerasain sih gimana patahnya hati aku kemarin!”
“Kamu kok jadi dramatisir? Kamu baper.”
“Baper? Bahasa apa itu?”
“Terlalu dibawa perasaan.”
“Ya berarti aku sayang sama kamu pake perasaan!”
“Iya iya yaudah maaf. Kamu jadi galak ya sekarang.”
“Aku akan selalu galak kalo kamu macem-macem sama cowok lain.”
Vina tersenyum.
“Kenapa kamu senyum-senyum?” tanya Iqbal yang merasa aneh dengan senyum Vina.
“Aku rasa, bait pertamaku udah selesai. Berulang kali melangkah maju, tapi ternyata masih diam di tempat, ngga kemana-mana. Tapi sekarang, aku mulai melangkah di dunia nyataku, sama kamu.” ucap Vina diselingi senyumnya.
Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]