Cerpen: Setelah Bait Pertama
Jalanan setapak yang
basah karena hujan siang tadi, membuat siapapun yang melewatinya harus
berhati-hati.
Pemilik kaki yang
setiap sore melewati jalanan ini di bawah pepohonan yang teduh di
kiri-kanannya, sore ini, berhenti sebentar di depan sebuah pohon.
Bukan untuk
memperhatikan pohonnya, namun ia mulai melangkah melewati semak-semak. Setelah
melewati semak-semak, ia berdiri di depan sungai yang memanjang dihadapannya.
Ia selalu melakukan ini
sepulang sekolah, sejak satu tahun yang lalu. Menunggu senja habis dan bertemu
bintang.
Begitu adzan
berkumandang, ia langsung bangun dan pergi dari situ. Ia sadar, kedua orang tua
dan kakak perempuannya pasti sedang menunggunya.
Vina masuk tanpa
mengucap salam. Padahal, kedua orang tuanya sedang berada di halaman depan
rumahnya.
Vina membuka pintu
kamarnya. Kakak Vina—Reva namanya—baru saja keluar dari kamarnya yang kebetulan
bersebelahan dengan kamar Vina.
“Vi? Ngga papa?” tanya
Reva.
Vina hanya menggeleng,
lalu masuk ke kamarnya.
“Ini udah hari ke tiga
ratus enam puluh lima. Kenapa lo ngga nemuin gue? Gue bener-bener dateng ke
depan sungai itu setiap hari selama pulang sekolah. Lo bohong!” gumam Vina.
Berkali-kali Vina
mencoba menghilangkan bayangan wajah laki-laki yang sangat ia cintai. Tapi
semakin Vina bersikeras melupakan, justru seseorang itu selalu terus berada di
kepala Vina.
Keesokan harinya begitu
Vina sampai di sekolah, seseorang langsung menyamakan langkah Vina dan
menggenggam tangan Vina.
“Kenapa sih? Diem aja
dari kemarin.”
“Aku ngga papa, Bal. Emang muka aku kelihatan kenapa-napa ya?”
“Iya. Aku khawatir.”
“Aku ngga papa, Bal. Emang muka aku kelihatan kenapa-napa ya?”
“Iya. Aku khawatir.”
Vina menyunggingkan
bibirnya, menghentikan langkahnya.
“Aku baik-baik aja,
Iqbal. Ngga ada yang harus kamu khawatirin.”
Laki-laki yang sedari
tadi menggenggam tangan Vina, melepasnya lalu merangkul Vina.
“Kalo gitu, pulang
sekolah nanti kita ke toko buku. Aku mau lihat-lihat buku ujian nasional. Kamu
juga harus serius belajar, biar kita masuk kampus yang sama nanti.” ucap Iqbal
diselingi senyumnya.
“Kamu mau kuliah di
mana emangnya?” tanya Vina yang memegang tangan Iqbal yang ada di pundaknya.
Iqbal ber-hm.
“Kamu di mana? Aku mau
satu kampus sama kamu.”
“Ah, ngga punya pendirian. Harus punya cita-cita, dong!”
“Ya kan cita-cita aku, kamu Vi.”
“Ah, ngga punya pendirian. Harus punya cita-cita, dong!”
“Ya kan cita-cita aku, kamu Vi.”
Vina memandang Iqbal
seolah menyiratkan “Apaan sih lo?!”
Iqbal tersenyum.
“Yaudah bahasnya nanti aja. Sekarang kita masuk kelas aja yuk.”
Mereka berjalan ke
kelas mereka. Memasuki ruangan dengan papan kecil berwarna putih bertuliskan
“XII IPA 1” di kepala pintu.
Vina benar-benar
berusaha keras memecahkan soal fisika yang sedang Bu Titin jelaskan. Bahkan
rambut yang ia ikat habis mulai berantakan. Mungkin karena frustasi.
Iqbal yang duduk di
barisan sebelah barisan Vina, memperhatikan hati yang telah dimilikinya sejak
delapan bulan yang lalu. Tersenyum sambil memperhatikan Vina kebingungan mengerjakan
soal fisika.
“Vina cantik ya Bal?”
“Cantik banget.”
“Bagus ya, yang lain mengerjakan soal yang ibu kasih, kamu malah asyik ngelihatin Vina.” Bu Titin yang sedari tadi disebelah Iqbal, menjewer telinga Iqbal sampai pandangan Iqbal jadi beralih ke gurunya tersebut.
“Bu ampun, bu. Sakit, bu.” rintih Iqbal.
“Cantik banget.”
“Bagus ya, yang lain mengerjakan soal yang ibu kasih, kamu malah asyik ngelihatin Vina.” Bu Titin yang sedari tadi disebelah Iqbal, menjewer telinga Iqbal sampai pandangan Iqbal jadi beralih ke gurunya tersebut.
“Bu ampun, bu. Sakit, bu.” rintih Iqbal.
Vina tersenyum melihat
kelakuan kekasihnya.
Saat bel istirahat,
Iqbal langsung mengajak Vina keluar kelas. Berjalan bersama di koridor lantai
dua sambil memperhatikan beberapa siswa yang sedang asyik di lapangan.
“Bal, adik kelas kamu
tuh! Hahahaha.” ledek Vina sambil menunjuk siswi kelas sebelas yang sedang
berfoto-ria di tengah lapangan.
“Rese lo dare-nya bikin malu!” teriaknya setelah
seorang teman selesai mengabadikan dirinya dalam sebuah ponsel.
Kemudian, seseorang
temannya berbisik padanya. Tak lama, ia menoleh ke arah Vina dan Iqbal. Lalu
memasang wajah bete.
“Adik kelas kamu juga,
Vi.” kata Iqbal.
“Tadi ngelihatin kamu tuh. Ciye.” goda Vina.
“Aku ngga mau flashback ya. Udah yuk ah ke kelas.” kata Iqbal.
“Tadi ngelihatin kamu tuh. Ciye.” goda Vina.
“Aku ngga mau flashback ya. Udah yuk ah ke kelas.” kata Iqbal.
Vina diam. Satu kata
yang Iqbal ucapkan, mampu menarik seseorang yang terkubur dalam di pikiran Vina.
Iqbal yang sadar bahwa Vina
masih diam di tempat, langsung berbalik dan berdiri di hadapan Vina.
“Aku bikin kamu keinget
mantan kamu ya?” tanya Iqbal.
“Sedikit.” Vina tersenyum ragu.
“Yaudah yuk ke kelas.”
“Sedikit.” Vina tersenyum ragu.
“Yaudah yuk ke kelas.”
~
“Aku nyariin kamu,
taunya kamu di sini. Baca apa sih?” tanya Iqbal.
“Novel. Kamu udah dapet bukunya?” ucap Vina.
“Kamu tuh ya, udah mau UN masih juga nyari novel. Udah nih, tinggal bayar.” kata Iqbal.
“Novel. Kamu udah dapet bukunya?” ucap Vina.
“Kamu tuh ya, udah mau UN masih juga nyari novel. Udah nih, tinggal bayar.” kata Iqbal.
Vina hanya tersenyum
sambil menampakan gigi kelincinya.
Selesai dari toko buku,
mereka pergi ke tempat makan. Seperti biasa kalau mereka pergi ke tempat makan,
selalu Vina yang menentukan tempat. Kali ini, mereka makan di tempat Roti Bakar
yang berada di seberang toko buku.
“Tumben roti bakar.”
celetuk Iqbal seselesai memarkir motor.
“Lagi ngidam.” jawab Vina, asal.
“Vi, kamu…” Iqbal menarik tangan Vina.
“Apa?” Vina benar-benar tidak paham.
“Sama siapa?” tanya Iqbal dengan tatapan marah.
“Apaan sih! Macem-macem banget mikirnya, aku cuman bercanda!” Vina menepak kepala Iqbal dengan sekantong buku novel dan buku kumpulan soal UN milik Iqbal.
“Lagi ngidam.” jawab Vina, asal.
“Vi, kamu…” Iqbal menarik tangan Vina.
“Apa?” Vina benar-benar tidak paham.
“Sama siapa?” tanya Iqbal dengan tatapan marah.
“Apaan sih! Macem-macem banget mikirnya, aku cuman bercanda!” Vina menepak kepala Iqbal dengan sekantong buku novel dan buku kumpulan soal UN milik Iqbal.
Iqbal hanya tersenyum.
Padahal ia sedang menggoda Vina. Namun baginya, Vina terlihat begitu cantik
kalau sedang memasang tampang kesal dan jutek.
Seporsi roti bakar
cokelat-keju dan roti bakar selai kacang-cokelat sudah tersedia di meja nomor
tiga, juga segelas es teh manis dan es cokelat.
“Kamu ngga takut
gendut?” tanya Iqbal melihat Vina menelan makanan dan minuman manis dengan ikhlas.
“Kamu ngga suka ya kalo aku gendut?” Vina balik bertanya.
“Ngga, bukannya gitu. Gimanapun kamu, aku suka kok. Serius deh.” Iqbal menjawabnya dengan gugup.
“Masa sih?”
“Iya. Masa aku bohong.”
“Kamu ngga suka ya kalo aku gendut?” Vina balik bertanya.
“Ngga, bukannya gitu. Gimanapun kamu, aku suka kok. Serius deh.” Iqbal menjawabnya dengan gugup.
“Masa sih?”
“Iya. Masa aku bohong.”
Vina tersenyum sambil
mengunyah roti bakarnya.
Iqbal mengantar Vina
pulang. Baru saja sampai di ujung jalan, Vina meminta Iqbal menghentikan sepeda
motornya.
“Sampe sini aja, Bal.” Vina
turun dari motor Iqbal.
“Aku pikir kamu lupa. Kenapa sih sampe sini? Kan dikit lagi juga nyampe, tanggung banget.” protes Iqbal.
“Ngga papa. Aku jalan ya. Daah!”
“Aku pikir kamu lupa. Kenapa sih sampe sini? Kan dikit lagi juga nyampe, tanggung banget.” protes Iqbal.
“Ngga papa. Aku jalan ya. Daah!”
Walaupun gerimis mulai
turun, Vina masih tetap ingin ke tempat itu. Ke tempat di mana terakhir kalinya
Vina bertemu seseorang. Seseorang yang meminta untuk melangkah masing-masing
dan berjanji akan menjelaskan keputusannya suatu hari nanti. Tapi sampai hari
ini, seseorang itu tak juga datang.
Hari-hari Vina selalu
dihantui masa lalu yang masih berhutang janji padanya. Entah siapa yang paling
jahat dalam cerita cintanya.
Sepengetahuan Vina,
Iqbal tau tentang ini. Namun Iqbal terlampau baik saat bilang cinta dan akan
tetap menunggu Vina.
Akhirnya, Vina menerima
Iqbal. Mungkin akan cepat melupakan mantan kekasihnya jika ada seseorang yang
baru, pikir Vina.
Tapi salah. Vina masih
belum bisa melupakan mantan kekasihnya. Tamparan yang teramat sakit saat
mengetahui hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan dia.
Hari ini Vina
memutuskan, bahwa hari ini harus jadi hari yang terakhir Vina menunggunya.
Duduk di atas rumput sambil memandangi senja di bawah deras hujan.
Vina tak tau, sudah
berapa tetes air mata yang jatuh. Vina merasa pelupuknya berat dan matanya
hangat.
Vina memeluk lututnya.
Makin deras hujan yang turun, begitu juga air matanya, semakin deras jatuh
bersama air hujan yang membasahi tubuhnya.
Keesokan harinya begitu
sampai sekolah, kepala Vina terasa berat. Bahkan ia bersandar pada dinding
sebentar, memijat kepala dan memejamkan matanya.
Tak lama, Iqbal yang
baru datang dan menemukan keadaan Vina seperti itu, langsung membawa Vina ke
ruang UKS. Saat itu, Vina sudah dalam keadaan tidak sadar.
Aroma minyak kayu putih
menembus rongga hidung Vina hingga membuatnya harus terbangun dan seketika
memegangi kepalanya sambil mengaduh.
“Kamu udah sadar?”
tanya Iqbal.
“Aku di mana?”
“Kamu di UKS.”
“Bal? Sekarang jam berapa?”
“Jam dinding di atas kepala kamu.”
“Aku di mana?”
“Kamu di UKS.”
“Bal? Sekarang jam berapa?”
“Jam dinding di atas kepala kamu.”
Vina membalikan
kepalanya sambil melirik jam di dinding.
“Kamu kok di sini? Kamu
ngga masuk kelas?”
“Aku mau nemenin kamu.”
“Kamu masuk kelas aja. Aku ngga papa kok di sini sendiri.”
“Yaudah. Aku ke kelas ya.”
“Aku mau nemenin kamu.”
“Kamu masuk kelas aja. Aku ngga papa kok di sini sendiri.”
“Yaudah. Aku ke kelas ya.”
Vina mengangguk.
“Iqbal ngga kaya
biasanya.” gumam Vina begitu Iqbal keluar dari ruang UKS.
Begitu bel istirahat
kedua berbunyi, Vina memutuskan untuk masuk ke kelas. Karena pelajaran setelah
istirahat kedua adalah kimia.
Sesampainya di depan
kelas, Iqbal baru saja keluar dari kelas.
“Kamu kok ngga nunggu
aku dulu?” Iqbal langsung memegang tangan Vina.
‘Syukurlah,
Iqbal ngga berubah.’ benak Vina.
“Aku udah sehat, Bal.
kamu mau ke mana?”
“Aku baru aja mau nyamperin kamu ke UKS. Yaudah yuk masuk ke kelas.” ucap Iqbal.
“Aku baru aja mau nyamperin kamu ke UKS. Yaudah yuk masuk ke kelas.” ucap Iqbal.
Iqbal duduk di samping Vina
sambil memainkan ponselnya. Vina sedikit aneh melihat kejadian di depan
matanya. Tak biasanya Iqbal asyik memainkan ponselnya kalau sedang bersama Vina.
“Kamu lagi ngapain sih?
Kayaknya seru banget.” ucap Vina.
“Engga kok. Ngga lagi ngapa-ngapain. Aku ke mejaku ya.” Iqbal berdiri, tapi Vina menarik tangannya, memaksa Iqbal untuk duduk kembali.
“Engga kok. Ngga lagi ngapa-ngapain. Aku ke mejaku ya.” Iqbal berdiri, tapi Vina menarik tangannya, memaksa Iqbal untuk duduk kembali.
Iqbal duduk dengan
pandangan lurus ke depan.
“Kamu kenapa sih?”
tanya Vina.
“Aku lagi kenapa-napa. Tapi kayanya ngga perlu dibahas.” jawab Iqbal.
“Perlu. Karena aku pacar kamu.”
“Aku lagi kenapa-napa. Tapi kayanya ngga perlu dibahas.” jawab Iqbal.
“Perlu. Karena aku pacar kamu.”
Iqbal diam dan
memikirkan sesuatu. Merangkai kata dalam otak untuk menyampaikan maksud pada Vina.
“Sampai detik ini, kamu
masih belum lupain mantan kamu,” ucap Iqbal.
Sekarang giliran Vina
yang diam.
“Kamu masih nunggu dia
buat dateng. Kamu manggil-manggil namanya pas di UKS tadi.”
“Bal. Aku bener-bener lagi berusaha lupain dia. Bahkan aku janji sama diri aku sendiri untuk ngga dateng lagi ke tempat itu. Aku juga cape, Bal. Tapi kamu tenang aja, aku pasti lupain semua kenangan aku sama dia. Pasti cuman ada kamu di hidup aku. Aku pastiin itu.” jelas Vina dengan mata berkaca-kaca.
“Bal. Aku bener-bener lagi berusaha lupain dia. Bahkan aku janji sama diri aku sendiri untuk ngga dateng lagi ke tempat itu. Aku juga cape, Bal. Tapi kamu tenang aja, aku pasti lupain semua kenangan aku sama dia. Pasti cuman ada kamu di hidup aku. Aku pastiin itu.” jelas Vina dengan mata berkaca-kaca.
Untungnya saat itu
keadaan kelas sedang sepi. Iqbal membawa kepala Vina dalam pundaknya.
“Maafin aku, Vi.” ucap
Iqbal.
“Kamu ngga salah, Bal.” ucap Vina.
“Kamu ngga salah, Bal.” ucap Vina.
~
Sore ini, Vina
mengizinkan Iqbal menjemputnya di rumahnya. Iqbal meminta Vina untuk mau
diantar ke tempat les. Mengetahui sebulan menjelang ujian nasional, Vina harus
lebih giat lagi belajar agar mendapat universitas impiannya, bersama Iqbal.
Saat Iqbal menunggu Vina
di ruang tamu, ibu Vina menghampiri dan mengajak Iqbal ngobrol.
“Sore, tante.” sapa
Iqbal sambil mencium tangan ibu Vina.
“Sore. Kamu teman dekatnya Vina?”
“I—Iya tante.”
“Tante pikir kamu pacarnya Vina. Soalnya Vina pernah bilang, kalo dia sama pacarnya itu el-de-er ya? Atau apa namanya tante lupa. Jarak jauh lah pokoknya.”
“Ooh, gitu ya tante? Di Jogja ya?”
“Iya, di Jogja. Udah mau dua tahun mereka pacaran. Awet ya.” cerita ibu Vina sambil tersenyum.
“Sore. Kamu teman dekatnya Vina?”
“I—Iya tante.”
“Tante pikir kamu pacarnya Vina. Soalnya Vina pernah bilang, kalo dia sama pacarnya itu el-de-er ya? Atau apa namanya tante lupa. Jarak jauh lah pokoknya.”
“Ooh, gitu ya tante? Di Jogja ya?”
“Iya, di Jogja. Udah mau dua tahun mereka pacaran. Awet ya.” cerita ibu Vina sambil tersenyum.
Tiga menit kemudian, Vina
turun dari lantai dua.
“Eh, ada ibu,” Vina
kaget melihat ibunya ada di ruang tamu. “Yaudah yuk Bal berangkat. Bu, Vina
berangkat les dulu ya. Assalamualaikum.” pamit Vina dan kemudian menggandeng
Iqbal keluar.
Iqbal diam sepanjang
jalan mengantar Vina ke tempat les. Omongan Vina pun hanya menjadi angin lalu
bagi Iqbal.
Sesampainya di depan
tempat les, Iqbal hendak berlalu tanpa mengucap apapun.
“Bal,” Vina memanggil
Iqbal. “Jam delapan jemput aku di sini ya.” ucap Vina. Tapi Iqbal langsung
pergi dari situ, tanpa iya atau tidak yang terucap ketika Vina memintanya
menjemput.
Vina mengikuti les
seperti biasanya, juga jam pulang les yang seperti biasanya. Jam delapan kurang
sepuluh menit, Vina sudah menunggu Iqbal di depan gedung berlantai tiga—tempat
lesnya.
Hampir setengah jam
menunggu, Iqbal tak juga datang. Vina menghubungi Iqbal, tapi nomornya tidak
aktif. Satu jam menunggu. Hari sudah semakin larut, bahkan Vina sudah
diteleponi ayahnya.
Sekali lagi Vina
menelepon Iqbal. Kali ini tersambung, tapi Iqbal membiarkan ponselnya hanya
berdering saja, tanpa menjawab panggilan kekasihnya.
Lagi, melewati jalan
setapak di tengah gelap. Lagi-lagi kakinya hendak menerobos semak-semak. Namun
ia urungkan mengingat seseorang yang sudah menemaninya selama sembilan bulan
lebih ini.
Keesokan harinya saat
sampai sekolah, Vina menarik Iqbal keluar kelas. Mencari tempat yang nyaman
untuk bicara berdua.
Iqbal yang ditarik
tangannya tak memberontak. Hingga sampailah mereka di depan gudang sekolah,
lantai satu.
“Kamu tuh keterlaluan
banget ya. Aku nungguin kamu di depan tempat les selama satu jam. Kamu tuh ke mana
sih?! Minimal kalo ngga mau jemput, kasih kabar ke aku! Teleponku juga kamu
kacangin!” semprot Vina.
Iqbal diam.
“Kamu jangan diem aja
ya. Sekarang aku tanya, kenapa semalem kamu ngga jemput aku dan ngga angkat
telepon aku?” tanya Vina.
Iqbal masih tetap diam.
“Kayanya, sepulang
sekolah kemarin kita baik-baik aja. Kamu diemin aku pas nganterin aku les. Ibu
ngomong apa sih ke kamu sampe kamu diemin aku gini?” Vina tak putus asa.
Iqbal masih juga diam.
“Bal, kita pacaran udah
hampir sepuluh bulan. Bukan sebulan dua bulan yang dikit-dikit berantem dikit-dikit
mesra-mesraan. Kamu—“
“Kalo gitu, sepuluh bulan lama menurut kamu?” tanya Iqbal.
“Yaiyalah!”
“Dan ibu kamu bilang aku teman dekat kamu?”
“Ya cara orang tua kan beda-beda untuk nyebut laki-laki yang dekat sama anak pe—“
“Tapi ibu kamu juga bilang kalo kamu lagi ngejalanin hubungan LDR sama pacar kamu,”
“Kalo gitu, sepuluh bulan lama menurut kamu?” tanya Iqbal.
“Yaiyalah!”
“Dan ibu kamu bilang aku teman dekat kamu?”
“Ya cara orang tua kan beda-beda untuk nyebut laki-laki yang dekat sama anak pe—“
“Tapi ibu kamu juga bilang kalo kamu lagi ngejalanin hubungan LDR sama pacar kamu,”
Vina kaget mendengar
ucapan Iqbal.
“Pacar kamu yang
sekarang ada di Jogja.” ucap Iqbal.
Vina menggigit bibir
bawahnya, matanya menerawang ke bawah.
“Sekarang kamu yang
diam.”
“Ibu ngga tau kalo kamu pacar aku. Ibu taunya aku masih pacaran sama—“
“Aku segitu rendahnya di mata kamu? Sekarang aku baru ngerti kenapa ngga pernah boleh nganterin atau jemput kamu di rumah, dulu.”
“Bal…” ucap Vina dengan pelupuk yang sudah berat.
“Berarti kamu bohongin aku.”
“Percaya sama aku, Bal. Aku udah ngga ada hubungan apa-apa sama mantan aku.”
“Lakuin apa yang mau kamu lakuin, Vi.” ucap Iqbal yang kemudian membiarkan Vina sendiri dengan air matanya.
“Ibu ngga tau kalo kamu pacar aku. Ibu taunya aku masih pacaran sama—“
“Aku segitu rendahnya di mata kamu? Sekarang aku baru ngerti kenapa ngga pernah boleh nganterin atau jemput kamu di rumah, dulu.”
“Bal…” ucap Vina dengan pelupuk yang sudah berat.
“Berarti kamu bohongin aku.”
“Percaya sama aku, Bal. Aku udah ngga ada hubungan apa-apa sama mantan aku.”
“Lakuin apa yang mau kamu lakuin, Vi.” ucap Iqbal yang kemudian membiarkan Vina sendiri dengan air matanya.
“Aku bener-bener
mati-matian ngelupain dia demi kamu, Bal. Kenapa kamu ngga percaya sama aku…”
gumam Vina.
Iqbal melangkah
meninggalkan Vina bukan tanpa pikiran kosong. Otaknya masih berusaha mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya.
“Sore.
Kamu teman dekatnya Vina?”
“I—Iya tante.”
“Tante pikir kamu pacarnya Vina. Soalnya Vina pernah bilang, kalo dia sama pacarnya itu el-de-er ya? Atau apa namanya tante lupa. Jarak jauh lah pokoknya.”
“Ooh, gitu ya tante? Di Jogja ya?”
“Iya, di Jogja. Udah mau dua tahun mereka pacaran. Awet ya.”
“I—Iya tante.”
“Tante pikir kamu pacarnya Vina. Soalnya Vina pernah bilang, kalo dia sama pacarnya itu el-de-er ya? Atau apa namanya tante lupa. Jarak jauh lah pokoknya.”
“Ooh, gitu ya tante? Di Jogja ya?”
“Iya, di Jogja. Udah mau dua tahun mereka pacaran. Awet ya.”
Percakapannya dengan
ibunya Vina masih terngiang di kepala Iqbal. Apa benar Vina masih ada hubungan
dengan mantan kekasihnya yang sekarang tinggal di Jogja, seperti yang ibunya Vina
katakan?
Atau memang Vina sudah
tidak ada apa-apa dengan mantan kekasihnya seperti yang ia bilang tadi? Apa
benar Vina benar-benar sudah melupakan mantan kekasihnya itu?
Entahlah. Untuk saat
ini, Iqbal masih ingin menjauhi diri dari Vina.
~
Hubungan Vina dan Iqbal
masih renggang, bahkan sampai hari ini, hari terakhir ujian nasional. Untung
saja, Revina atau Vina berbeda ruangan dengan Iqbal.
Selama ini, Vina selalu
mencoba menjelaskan pada Iqbal. Iqbal tidak membantah, bahkan mendengarkan,
namun ia tetap diam.
Sampai Vina memutuskan
untuk konsentrasi pada ujian nasionalnya dulu. Setelah itu, hari ini, ia akan
menemui Iqbal di ruangannya.
Iqbal masih duduk di
kursi ujiannya, memainkan ponselnya. Vina memberanikan diri untuk berdiri di
hadapan Iqbal.
“Bal…” sapa Vina.
Iqbal menatap Vina.
“Aku—“
Omongan Vina terputus,
lalu Iqbal memeluk Vina.
“Aku yang salah. Aku
yang harusnya minta maaf. Vi, aku bener-bener minta maaf, maafin aku, ngga
seharusnya aku bersikap gitu ke kamu.” ucap Iqbal.
“Emang aku yang salah,
Bal, bukan kamu.” kata Vina.
“Aku sayang banget Vi sama kamu.” ucap Iqbal.
“Aku juga.” dalam pelukan Iqbal, Vina tersenyum.
“Aku sayang banget Vi sama kamu.” ucap Iqbal.
“Aku juga.” dalam pelukan Iqbal, Vina tersenyum.
Vina rasa, ia mulai
bisa merelakan masa lalunya dan menyayangi Iqbal sepenuhnya. Dan menurutnya, ia
benar-benar tidak lagi menunggu mantan kekasihnya datang untuk menjelaskan
keputusannya dulu.
Liburan ini, Vina jadi
sering bermain bersama Iqbal. Belajar bersama untuk mengikuti jalur tes masuk
perguruan tinggi apabila jalur undangan tidak diterima.
Vina berpikir, kenapa
tidak dari dulu saja ia menyayangi Iqbal sepenuhnya seperti sekarang? Vina
merasa ‘punya kembali’ sesuatu yang telah lama hilang.
Saat berjalan menuju
rumah Vina, Iqbal tak sedetikpun melepas genggaman tangan Vina. Mereka berjalan
bersama melewati jalan setapak menuju rumah Vina. Iqbal membiarkan Vina
berjalan di depannya.
Di langkah berikutnya,
ada sesuatu yang membuat Vina berhenti. Dan Iqbal pun ikut berhenti seraya
melihat apa yang Vina lihat yang sekarang ada dihadapannya.
“Dio?”
Seseorang yang sudah
berhasil Vina lupakan, hari ini ada di depannya, tersenyum melihat Vina. Lalu,
dia memeluk Vina tanpa peduli siapa yang ada di belakang Vina.
“Aku kangen banget sama
kamu, Vi.” dengan erat Dio menarik tubuh Vina ke dalam pelukannya hingga
genggaman tangan Iqbal terlepas.
Vina seakan membeku
berada dalam pelukan seseorang yang sudah dingin. Pelukannya tak sehangat dulu.
Hanya air mata yang terasa hangat di pipi Vina saat ini.
“Aku mau jelasin
semuanya ke kamu,” ucap Dio yang melepas pelukannya. “Kamu kok nangis? Aku udah
di sini Vi, aku kembali untuk kamu.” ucap Dio.
“Aku pikir kamu ngga
akan ke Jakarta lagi. Bahkan aku udah nyerah untuk dateng ke tempat terakhir
kita ketemu dulu cuman untuk nunggu kamu. Aku udah kehabisan alasan buat nunggu
kamu.” jelas Vina.
Ada hati yang
benar-benar terkejut mendengar ucapan Vina barusan. Ini benar-benar pernyataan
paling menyakitkan baginya. Namun ia berusaha diam untuk mendengar kelanjutan
yang akan terucap dari bibir Vina.
“Maafin aku. Maafin aku
baru dateng hari ini. Udah ngebuat kamu nunggu selama itu, dan ngebiarin kamu
selalu dateng ke tepi sungai demi nunggu kedatangan aku. Tapi Vi, sekarang aku
bener-bener dateng. Aku bener-bener ada di sini buat kamu.” jelas Dio.
“Iya. Sekarang kamu
bener-bener di sini. Kamu di sini buat aku kan?” ucap Vina dengan suara
bergetar.
“Iya. Aku di sini buat kamu. Aku janji ngga akan pergi lagi.” Dio memeluk Vina erat.
“Iya. Aku di sini buat kamu. Aku janji ngga akan pergi lagi.” Dio memeluk Vina erat.
Sekarang, hanya tinggal
mereka berdua di situ.
~
Vina gelisah menunggu
seseorang pulang di depan rumahnya. Mondar-mandir di depan gerbang rumah Iqbal.
Semalaman Iqbal tidak ada kabar dan tidak bisa dihubungi. Vina tau, ini pasti
ulahnya yang terlihat bernostalgia dengan Dio.
Sesekali Vina memijat
kaki dan tangannya. Ia kelelahan karena dari semalam tidak bisa tidur, khawatir
dengan Iqbal yang menghilang sejak pertemuannya dengan Dio.
Beberapa menit
kemudian, motor Iqbal berhenti di depan rumahnya. Sempat ingin pergi lagi
begitu melihat Vina berdiri di situ. Tapi Vina terlanjur menahan Iqbal.
“Aku mau jelasin
sesuatu ke kamu.”
“Aku ngga perlu dengerin penjelasan kamu. Mending sekarang kamu pulang, ini udah mau hujan.” Iqbal turun dari motornya dan hendak membuka gerbang rumahnya.
“Tapi aku harus ngejelasin ke kamu, Bal.”
“Cukup, Vi!” Iqbal menepis tangan Vina.
“Aku ngga peduli kamu mau peduli sama aku atau engga sekarang ini. Tapi aku mau kamu dengerin aku.” ucap Vina berlinangan air mata.
“Aku juga ngga peduli.”
“Aku ngga perlu dengerin penjelasan kamu. Mending sekarang kamu pulang, ini udah mau hujan.” Iqbal turun dari motornya dan hendak membuka gerbang rumahnya.
“Tapi aku harus ngejelasin ke kamu, Bal.”
“Cukup, Vi!” Iqbal menepis tangan Vina.
“Aku ngga peduli kamu mau peduli sama aku atau engga sekarang ini. Tapi aku mau kamu dengerin aku.” ucap Vina berlinangan air mata.
“Aku juga ngga peduli.”
Iqbal masuk ke
rumahnya, sedangkan Vina masih berdiri di depan gerbang rumah Iqbal. Hujan
sudah mulai deras, tapi Vina masih juga berdiri disitu.
Baru saja Iqbal menutup
pintu kamarnya.
“Kelakuannya selalu
bikin gue khawatir.” ucapnya.
Ketika petir mulai
menyambar dan deras hujan terdengar keras, “Vina!” Iqbal langsung keluar
rumahnya. Namun tidak ada siapapun di sana.
“Vina pulang dalam
keadaan hujan sederas ini? Dia bodoh atau gila sih!” Iqbal langsung masuk dan
mengambil kunci mobil.
Iqbal menelusuri
jalanan komplek rumahnya. Sudah tiga blok tapi Vina tidak juga ketemu.
Langkahnya tak mungkin secepat itu.
Iqbal menghentikan
mobilnya begitu melihat seseorang di bawah pohon sambil memeluk tubuhnya dan
menunduk. Iqbal mengarahkan mobilnya ke pinggir jalan dekat pohon itu.
Iqbal turun dan
menghampiri Vina di bawah payung. Air matanya deras seperti hujan sore ini.
“Ikut aku.” Iqbal
menggenggam tangan Vina.
“Iqbal?” gumamnya dengan wajah pucat dan kedinginan.
“Iqbal?” gumamnya dengan wajah pucat dan kedinginan.
~
“Kamu tuh nekat ya.
Deres gini maksain jalan.” ucap Iqbal begitu sampai di rumahnya.
“Aku pasti disangka maling kalo tetep berdiri di depan pager rumah kamu.” ucap Vina dengan nada bergetar.
“Diminum susu hangatnya.”
“Aku pasti disangka maling kalo tetep berdiri di depan pager rumah kamu.” ucap Vina dengan nada bergetar.
“Diminum susu hangatnya.”
Setelah satu tegukan, Vina
mencoba menghangatkan telapak tangannya dengan gelas yang masih berada di
genggamannya.
“Lebih hangat kaya
gini.” Iqbal mengambil gelas yang Vina genggam, menaruhnya di atas meja, lalu
kedua tangan Vina digenggam Iqbal dan sesekali Iqbal meniupnya untuk
menghangatkan. Atau Iqbal menaruh kedua tangan Vina di kedua pipinya.
“Hangat kan?” tanya
Iqbal. Vina mengangguk.
“Bal.”
“Hem?”
“Kenapa kemarin kamu langsung pergi?”
“Coba kamu di posisi aku, Vi.”
“Kamu harus tau satu hal.”
“Hem?”
“Kenapa kemarin kamu langsung pergi?”
“Coba kamu di posisi aku, Vi.”
“Kamu harus tau satu hal.”
“Iya.
Sekarang kamu bener-bener di sini. Kamu di sini buat aku kan?” ucap Vina dengan
suara bergetar.
“Iya. Aku di sini buat kamu. Aku janji ngga akan pergi lagi.” Dio memeluk Vina erat.
“Iya. Aku di sini buat kamu. Aku janji ngga akan pergi lagi.” Dio memeluk Vina erat.
Vina
melepas pelukan Dio.
“Tapi
maafin aku, Dio. Aku udah memutuskan untuk berhenti nunggu kamu. Udah ada
seseorang yang ada di hati aku semenjak kampu pergi.”
Vina
menoleh ke belakang, tapi sudah tidak ada siapapun.
“Cowok
yang tadi sama kamu?”
“Iya. Iqbal. Maafin aku.”
“Iya. Iqbal. Maafin aku.”
Dio
tertunduk.
“Aku
terlambat.”
“Kamu ngga perlu ngejelasin kenapa dulu kamu mutusin aku. Karena sekarang, aku ngga butuh alasan apapun dari kamu. Kita memang udah seharusnya jalan masing-masing. Bait kita udah selesai, Dio.”
“Kamu ngga perlu ngejelasin kenapa dulu kamu mutusin aku. Karena sekarang, aku ngga butuh alasan apapun dari kamu. Kita memang udah seharusnya jalan masing-masing. Bait kita udah selesai, Dio.”
“Kamu ngga ngerasain
sih gimana patahnya hati aku kemarin!”
“Kamu kok jadi dramatisir? Kamu baper.”
“Baper? Bahasa apa itu?”
“Terlalu dibawa perasaan.”
“Ya berarti aku sayang sama kamu pake perasaan!”
“Iya iya yaudah maaf. Kamu jadi galak ya sekarang.”
“Aku akan selalu galak kalo kamu macem-macem sama cowok lain.”
“Kamu kok jadi dramatisir? Kamu baper.”
“Baper? Bahasa apa itu?”
“Terlalu dibawa perasaan.”
“Ya berarti aku sayang sama kamu pake perasaan!”
“Iya iya yaudah maaf. Kamu jadi galak ya sekarang.”
“Aku akan selalu galak kalo kamu macem-macem sama cowok lain.”
Vina tersenyum.
“Kenapa kamu
senyum-senyum?” tanya Iqbal yang merasa aneh dengan senyum Vina.
“Aku rasa, bait pertamaku udah selesai. Berulang kali melangkah maju, tapi ternyata masih diam di tempat, ngga kemana-mana. Tapi sekarang, aku mulai melangkah di dunia nyataku, sama kamu.” ucap Vina diselingi senyumnya.
“Aku rasa, bait pertamaku udah selesai. Berulang kali melangkah maju, tapi ternyata masih diam di tempat, ngga kemana-mana. Tapi sekarang, aku mulai melangkah di dunia nyataku, sama kamu.” ucap Vina diselingi senyumnya.
Selesai
Komentar
Posting Komentar