Miris: Finding Love [Chapter 5]

Hai, simak kelanjutannya ya!



“Sheryl!” panggil seseorang begitu Sheryl turun dari angkutan umum di depan gang jalanan menuju rumah Sheryl. Sheryl menoleh.
“Kakak yang beberapa hari yang lalu makan di warung Mama kan? Kok tau nama saya?” tanya Sheryl.
“Akhirnya udah ngga dipanggil Mas lagi. Tau lah, kamu pikir saya ngga bisa nanya sama Mama kamu.”
“Oh, ada apa?”
“Nanti malem warung Mama buka?”
“Ngga tau. Emang kenapa?”
“Yah, saya mau makan di sana nanti. Tapi nyape-nyapein kalo taunya nanti malem ngga jual. Ada nomor telepon yang bisa dihubungi, biar saya bisa tanya dulu?”
“Nomor telepon? Kost-an Kakak kan deket dari warung Mamaku, tinggal jalan ngelewatin satu gang doang.”
“Lumayan bakar kalori juga. Ada ngga nomor telepon yang bisa dihubungin?”
“Ya, palingan, nomor saya. Mama jarang pegang hape soalnya.”
“Yaudah, nih kasih nomor kamu ke saya.”
Nanda memberikan ponselnya pada Sheryl.
“Nih, Kak.”
“Yaudah, thanks ya. Kalo gitu gue duluan.”
“Iya.”
Nanda berlalu dari hadapan Sheryl.
“Kurang kerjaan banget lari-larian dari gang sebelah buat minta nomor hape doang. Aneh.” cibir Sheryl.
Sore hari, di sebuah rumah.
“Mulai besok, kamu ngga boleh bawa mobil lagi!” bentak Papa.
“Pa, itu kan cuman kegores. Dipoles lagi juga mulus, kelihatan kaya semula lagi.”
“Arsen, kamu itu masih mahasiswa, belum punya penghasilan sendiri. Jadi kamu selalu berpikir bahwa apa-apa itu mudah. Tinggal ini tinggal itu. Karena kamu ngga merasakan susahnya mendapatkan itu! Difasilitasi bukannya dirwat malah sembarangan!” bentak Papa.
“Aku ngga nyembarangin Pa, tapi itu bener-bener ngga sengaja.”
“Tidak ada toleransi. Mulai besok, ke mana-mana kamu naik saja angkutan umum.”
“Lho Pa, kok gitu sih? Kan motor masih nganggur satu di garasi.”
“Ngga. Motor itu biar dipakai Mang Cecep.”
“Ah, terserahlah!”
Arsen masuk ke kamarnya dengan perasaan kesal sekaligus marah.
“Sudah Tuan, jangan terlalu menekankan Den Arsen, nanti dada Tuan sakit lagi.” ucap Bik Nani.
“Anak itu semenjak ditinggal Mamanya, jadi semakin jadi saja. Dia berbeda sekali dengan adiknya.” ucap Papa.
Tok. Tok. Tok.
“Kenapa?” tanya Arsen pada adiknya.
“Lo abis dimarahin Papa ya? Mobil kenapa lagi emang?” tanyanya.
Arsen bangun dari baringannya.
“Gara-gara temen lo!”
“Temen gue? Siapa?”
“Ngga tau gue siapa namanya. Motornya nyenggol mobil sampe kebaret gitu.”
“Siapa ya?”
“Ya mana gue tau. Eh, gue minjem motor lo dong, gue mau ke tempat temen gue.”
“Ketahuan Papa ngga nanti?”
“Papa di kamarnya. Mana sini kuncinya.”
“Tunggu, gue ambil dulu di kamar.”
Setelah itu, Arsen pergi dengan motor adiknya.
Di warung makan.
“Kalian mau makan apa? Tante kasih gratis deh.” ucap Mama Sheryl.
“Serius Tante?” tanya Ingga.
“Yah, Tante, kita kan ke sini niatnya beli.” ujar Dizi.
“Basi lo Diz, lo kan demen yang gratisan.” ucap Lira.
“Hahahahahahaha!”
“Aku ayam kremes deh Tante, dada ya.” ucap Ingga.
“Aku juga sama kaya Ingga, Tante.” ucap Dizi.
“Aku juga ayam kremes, paha kiri ya Tante.” ucap Lira.
Mama Sheryl berpikir, ketiga teman Lira menatap Lira aneh.
“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Lira.
“Lo mau mos lagi?” tanya Sheryl.
“Ya engga, tapi lagi pengin aja makan ayam mati yang kidal.” kata Lira asal.
“Lo apaan si Ra, emang ayam bisa nulis. Kocak!” celetuk Ingga dengan tawanya.
“Tante, jangan dipikirin mana paha kanan mana paha kiri. Aku becanda doang tadi.” ucap Lira pada Mama Sheryl yang sedang memilah ayam yang belum dimasukan ke penggorengan, mencari yang mana paha kiri.
“Lo bikin Mama gue mikir, Ra. Hahahaha.” ucap Sheryl.
Ponsel Sheryl bordering, tanda satu pesan diterima. Nomor itu tidak terdaftar dalam kontak Sheryl.
-Ryl, ini nanda. Warung mama buka?-
Sheryl meraih ponselnya, mengetik sesuatu.
­-Buka kak-
Setelah ditunggu, namun tidak juga ada balasan. Yasudahlah, Sheryl membantu Mama menyiapkan makanan untuk ketiga temannya saja.
“Buka nih. Mau ke sana?”
“Buka? Yaudah ayo ke sana, gue laper banget lagi pengin makan ayam kremes Tante Uta.”
“Tante Uta?”
“Iya, gue sempet nanya namanya.”
“Buset. Orang tua dimodusin juga. Mending modusin anaknya deh.”
“Anaknya?”
“Iya, satu sekolah juga sama kita.”
“Oh.”
~
“Nih, udah jadi makanannya.” Sheryl membawakan piring ke meja yang ditempati teman-temannya. Di meja berbentuk persegi panjang, di belakang meja panjang.
Setelah menerima piringnya, Lira malah bangun menghampiri Mama Sheryl.
“Tante, Lira boleh minta tambahin sambelnya lagi ngga?”
“Ohh boleh… boleh…” Mama Sheryl memberi tambahan sambel ke piring makan Lira.
“Makasih Tante.” Lira kembali ke kursinya.
Sebuah motor berhenti di depan warung makan Mama Sheryl. Dua pemuda turun dari motor dan menuju tempat pemesanan.
“Eh, Nanda dateng lagi. Mas yang ini juga, udah beberapa minggu batang hidungnya ngga kelihatan.” ucap Mama Sheryl.
“Iya nih Tante, nemenin yang lagi kangen ayam kremes.” ucap Nanda.
Seseorang disamping Nanda, memperhatikan salah satu dari empat cewek yang duduk di sana. Lira. Bahkan Lira menyadari tatapan itu. Otaknya bekerja untuk berusaha mengingat, bahwa sepertinya ia pernah bertemu orang ini.
“Hai Sheryl.” sapa Nanda sambil duduk di kursi bermeja panjang, tempat biasa ia duduk.
“Eh, iya Kak.” Sheryl bangun dari duduknya, membantu Mamanya menyiapkan makanan untuk kedua pembeli yang baru saja duduk.
“Udah, kamu makan aja. Lagian ada temen-temen kamu juga.” kata Mamanya.
“Cuman nuang air cuci tangan doang kok.” kata Sheryl.
Lalu, Sheryl memberikan dua mangkuk cuci tangan ke hadapan Nanda dan temannya.
“Kakak sama temennya mau minum apa?” tanya Sheryl.
“Saya es teh manis deh.” jawab Nanda.
Seseorang di samping Nanda menoleh ke belakang, ke arah Lira. Lira memasang tampang malas dilihati.
“Ra, kok dia ngelihatin lo mulu ya?” bisik Ingga yang duduk di samping Lira.
“Ngga tau. Tapi gue kaya pernah lihat dia.” ucap Lira yang juga berbisik.
“Sen, lo mesen apaan?” tegur Nanda.
“Eh. Iya. Samain aja sama Nanda.” ucapnya.
“Yaudah, saya buatkan dulu ya.” kata Sheryl.
“Udah, Sher, biar Mama aja yang buat minumannya. Kamu duduk aja, ada temen-temenmu juga.” ucap Mama. Sheryl menurut setelah menyiapkan dua gelas untuk dituangkan teh manis.
Layar ponsel Dizi menyala. Ada satu notif whatsapp.
“Kak Dirly? Lo pm-an sama Kak Dirly?” tanya Ingga.
“Ha?” Dizi membeku. “Hem.” Dizi bergumam.
Ingga mengambil ponsel Dizi, membuka chat whatsapp dari Kak Dirly.
“Ohh, jadi kemaren si Dizi abis nemenin Kak Dirly pergi. Pantes ngga bisa.” ucap Ingga.
“Ngga, gue bisa jelasin. Lo jangan marah dulu ya.” ucap Dizi.
“Coba jelasin.” kata Ingga.
Dizi menarik napas.
“Sebenernya, gue…”
“Apa?”
Lira dan Sheryl khawatir aka nada perang persahabatan. Mereka berdua hanya diam. Lira berusaha menenangkan amarah Ingga, begitupun Sheryl yang terus mengusap bahu Dizi.
“Gue suka sama Kak Dirly. Gue bingung bilang ke lo-nya gimana. Tapi sumpah, gue ngga ada maksud buat nyakitin lo.” jelas Dizi.
“Dari kapan?”
“Semenjak dia jadi tutor kita.” jujur Dizi.
“Pantes selama ini lo diem kalo gue cerita tentang Kak Dirly.
“Maafin gue, Ngga.” lirih Dizi dalam tundukannya.
Ingga segera meledak.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHA!” tawa Ingga yang membuat Lira dan Sheryl menatap aneh.
“Lo kenapa ketawa?” tanya Lira. Dizi menatap Ingga.
“Lo pikir gue cemburu? Lo pikir gue marah? Dizi, gue itu udah punya cowok. Gue cuman seneng aja sama Kak Dirly, karena dia baik terus pinter. Kenapa lo ngga ngomong dari awal sama gue? Kalo gue tau, setiap kita ngumpul KIR kan gue bisa ngomporin lo.” kata Ingga.
“Jadi lo ngga beneran suka sama Kak Dirly?” tanya Dizi.
“Ya lo pikir aja. Gue sama cowok gue aja udah delapan bulan pacaran, ya kali deh gue naksir cowok lain.” kata Ingga.
“Udah nyiapin nama belum Ngga?” tanya Lira.
“Nama? Buat apaan?” Ingga malah balik bertanya.
“Sebulan lagi kan lahiran.” ucap Lira.
“Gini nih kalo udah lama jomblo.” ledek Ingga.
“Sorry gue mau nanya, yang kalian omongin itu Dirly Mahesa?” tanya cowok di sebelah Nanda.
“Iya, kenal sama Kak Dirly, Mas?” tanya Sheryl.
“Senior kalian di sekolah?” tanyanya lagi.
Sheryl mengangguk. Dizi dan Ingga mulai panik. Ada hubungan apa cowok ini dengan Dirly?
“Oh, berarti tadi kalian lagi ngomongin adik gue.” ucap Arsen sambil cengengesan.
“Adik lo laku di sekolah. Hahahaha!” ucap Nanda.
Dizi mematung, begitupun Ingga.
“Kak, jangan bilang-bilang ke Kak Dirly ya kalo tadi kita ngomongin dia.” ucap Dizi.
Arsen menoleh, menatap lekat gadis yang sedang dekat dengan adiknya itu.
“Nama lo siapa?” tanya Arsen. Dizi diam. Begitupun Sheryl dan Ingga.
“Dizi, jawab.” ucap Lira, pelan. Namun gerak bibir Lira terbaca oleh Arsen.
“Oh, namanya Dizi.” ucap Arsen.
Lira langsung membungkam mulutnya.
“Tamatlah riwayat lo, Diz. Hahahaha, siap-siap ya kalo besok ketemu Kak Dirly.” kata Ingga.
“Kak, jangan kasih tau Kak Dirly ya.” ucap Dizi memohon.
“Gue ngga akan ikut campur urusan anak SMA kok.” kata Arsen.
Tiba-tiba, mata Arsen melirik sebuah ransel di kaki Lira.
“Ingga, lo dijemput pacar lo kan? Gue balik duluan ya, udah diteleponin Mama.” ucap Lira.
“Buru-buru amir lo. Terus Dizi sama siapa?” kata Ingga.
“Dizi kan bawa motor.” kata Lira.
“Maksud gue, nanti dia baliknya sendirian? Emang lo berani Diz?” tanya Ingga.
“Berani lah, masa ngga berani. Eh, apa gue balik sekarang juga aja ya?” kata Dizi.
“Yeeu! Katanya berani!” kata Ingga.
“Gue balik sekarang juga aja deh.” ucap Dizi.
“Sher, Mama lo mana? Mau pamit.” tanya Lira.
“Lagi balik ke rumah. Nanti gue sampein deh.” kata Sheryl.
“Yaudah deh, bilangin ya. Ngga, gue sama Dizi duluan.”
“Iya, hati-hati ya jomblo-jombloku.” kata Ingga.
“Sialan lo.” gumam Dizi.
Untuk kedua kalinya, Arsen melihat ransel itu dan pemilik yang sama. Mata Arsen terus mengekori Lira sampai duduk di motornya.
B 6528 EZP.
Arsen bangun dari duduknya, keluar menghampiri Lira.
“Jadi lo orangnya!” ucap Arsen.
“Kenapa ya?” Lira menatap sinis dibentak seperti itu. Ia men-starter motornya. Arsen mematikannya dan mengambil kunci motor Lira.
“Gue mau ngomong sama lo sebentar.” ucap Arsen.
“Yaudah, kembaliin kunci motor gue.” ucap Lira.
Ingga dan Nanda jadi ikut melihat keadaan di depan warung.
“Eh, gara-gara lo ya mobil gue lecet. Dan gara-gara lo juga, gue jadi ngga boleh make mobil lagi.” ucap Arsen.
Lira diam sejenak. Jadi dia yang mobilnya tidak sengaja Lira tabrak. Bukan hanya mobil, bahkan cowok yang sedang marah-marah sambil memegang kunci motor Lira, juga seseorang yang dagunya tersenggol kepala Lira saat Lira bangun sehabis mengikat tali sepatu.
“Yaudah, kalo gitu maaf.” ucap Lira.
“Maaf lo telat, bokap gue udah  ngga ngebolehin gue make mobil. Dia juga ngga ngasih fasilitas kendaraan ke gue. Dan lo tau? Gara-gara lo, sekarang kemana-mana gue harus naik kendaraan umum.” cerita Arsen.
“Kok situ jadi curhat ya?” ucap Lira. Arsen diam.
“Yaudahlah Sen, kasih aja kunci motornya. Dia juga udah minta maaf.” ucap Nanda.
Arsen melempar kunci motornya ke arah Lira, lalu masuk ke dalam warung makan lagi.
“Ish, ngga sopan.” cibir Lira.
Setelah Lira dan Dizi pulang, seseorang datang dengan motornya. Melepas helm dan masuk sambil membuka jaketnya.
“Eh, Kak, ngapain Kak ke sini?” tanya Nanda kepada seseorang yang baru datang.
“Lo berdua ngapain di sini? Oh iya gue lupa, si Nanda baru pindah kan ya. Nah lo Sen?” tanya pemuda yang baru datang.
“Ya makan lah, Kak. Lo mau makan juga?” tanya Arsen.
“Mau jemput cewek gue.”
“Cewek lo?” tanya Nanda.
Tak lama, Ingga dan Sheryl datang dari luar.
“Kamu kok ngga sms udah nyampe?” tanya Ingga.
“Baru aja nyampe. Mau pulang kapan?” tanya Erland.
Arsen dan Nanda saling menatap. Merasa bahwa kejadian ini sungguh konyol.
~
Tunggu kelanjutannya ya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]