Miris: Finding Love [Chapter 3]
Hai, simak kelanjutannya ya!
“Kepada siswa dan siswi yang mengikuti ekskul KIR, diharap
berkumpul di ruang E-4 sepulang sekolah. Terimakasih.” suara pembicara yang
terdengar di speaker kelas.
“Aduh, ngumpul lagi. Gue kan mau pergi.” ucap Lira.
“Mau pergi ke mana Ra?” tanya Sheryl.
“Ngga tau deh Ayah gue. Dia kan semalem baru nyampe Jakarta, jadi weekend ini ngajak pergi. Mana gue di jemput juga. Gue ngga ikut ngumpul aja deh.” ucap Lira.
“Kebiasaan. Ekskul formalitas doang, biar ada nilai di rapot.” sahut Ingga.
“Bisa-bisanya Sabtu masuk sekolah, ditambah ngumpul KIR. Merenggut kebahagiaan banget.” cibir Dizi.
“Mau pergi ke mana Ra?” tanya Sheryl.
“Ngga tau deh Ayah gue. Dia kan semalem baru nyampe Jakarta, jadi weekend ini ngajak pergi. Mana gue di jemput juga. Gue ngga ikut ngumpul aja deh.” ucap Lira.
“Kebiasaan. Ekskul formalitas doang, biar ada nilai di rapot.” sahut Ingga.
“Bisa-bisanya Sabtu masuk sekolah, ditambah ngumpul KIR. Merenggut kebahagiaan banget.” cibir Dizi.
Kring. Kring. Kring.
Bel pulang berbunyi.
“Izinin ke Kakak-kakaknya ya, maaf. Bilang aja gue ada
urusan.” ucap Lira.
“Iya. Udah dijemput lo?” tanya Ingga.
“Udah. Gue duluan ya, daah.”
“Hati-hati, Ra.” ucap ketiga sahabatnya.
“Iya. Udah dijemput lo?” tanya Ingga.
“Udah. Gue duluan ya, daah.”
“Hati-hati, Ra.” ucap ketiga sahabatnya.
Di ruang E-4. Ruangan yang memang khusus ekskul hari Sabtu.
Sebenarnya, ruang ekskul berada di ruang E-1 sampai E-5. Dan ruangan E berada
di lantai lima. Kebetulan, hari ini hanya E-4 yang kosong.
“Kak, Lira izin.” ucap Ingga pada sang ketua KIR, Kak Dirly.
“Oh iya. Yaudah, kalian langsung duduk aja ya.” katanya.
“Oh iya. Yaudah, kalian langsung duduk aja ya.” katanya.
Setelah semua anggota sudah berkumpul, tentu tanpa kehadiran
Lira, Kak Dirly selaku ketua ekskul, mulai membicarakan untuk apa seluruh
anggota dikumpulkan.
“Maaf ya temen-temen, Kakak ngumpulin kalian hari Sabtu gini.
Padahal kan jadwal kita hari Rabu. Kakak ngumpulin kalian di sini cuman mau
nyampein kegiatan kita. Kalian buat kelompok belajar yang terdiri dari tiga
orang, satu orangnya itu dari Kakak-kakaknya, dua orangnya bebas, terserah
kalian.” jelas Kak Dirly.
“Iya, karena menurut jadwal yang udah ada, sebulan ini jadwal
kita tuh belajar bareng setiap ngumpul. Kalian boleh bawa PR kalian ke sini,
ngerjain bareng-bareng sama Kakak-kakaknya. Kalo gitu, kalian bikin kelompok
yang terdiri dua orang, abis itu kasih namanya ke Kakak. Nanti kita tentuin
siapa yang akan jadi tutor kalian.” jelas Kak Debby, sekretaris KIR.
“Sher, lo sama Lira ya? Gue sama Dizi.” usul Ingga.
“Okidoki.” sahut Sheryl.
“Okidoki.” sahut Sheryl.
Setelah menyerahkan nama anggota, pengurus KIR mulai
berunding. Siapa yang akan jadi tutor siapa.
Kelompok belajar sudah terbentuk menjadi sepuluh kelompok
dengan masing-masing dua adik kelas di dalamnya. Kebetulan, Kakak kelas yang
ada sekarang sejumlah sepuluh orang. Meskipun seluruh anggota lama bukanlah
sepuluh orang.
Kak Debby mulai menulis nama anggota kelompok dan nomor
kelompok mereka di papan tulis, serta tutornya.
“Oke gue sama Lira di kelompok empat. Tutornya siapa ya…”
Kak Debby menulis satu nama di bawah nama Sheryl.
“Yes! Kak Febiola.” ucap Sheryl yang kemudian langsung
melempar senyum pada senior berparas oriental di ujung sana yang juga membalas
senyum Sheryl.
“Enak banget sama Kak Febi, si otak omnivora.” gumam Ingga.
“Omnivora kan pemakan segala, Ngga?” bingung Dizi.
“Nah, kalo dia segalanya bisa. Matematika, fisika, kimia, biologi, bahkan ekonomi dia juga jago.” ucap Ingga.
“Berisik kalian. Lo berdua di kelompok tujuh noh, tutornya Kak Dirly.” ucap Sheryl.
“Omnivora kan pemakan segala, Ngga?” bingung Dizi.
“Nah, kalo dia segalanya bisa. Matematika, fisika, kimia, biologi, bahkan ekonomi dia juga jago.” ucap Ingga.
“Berisik kalian. Lo berdua di kelompok tujuh noh, tutornya Kak Dirly.” ucap Sheryl.
Dizi langsung melirik ketua KIR tersebut. Kak Dirly sedang
mengelap kacamata minus tiga-nya.
“Kak Dirly pinter apa sih?” tanya Dizi, berbisik.
“Hitungannya jago, setahu gue sih.” jawab Ingga.
“Ngga, kok lo tahu semua tentang Kakak KIR sih?” selidik Sheryl.
“Tau lah. Gue nanya-nanya sama Kak Debby, hahahaha!” jawab Ingga.
“Hitungannya jago, setahu gue sih.” jawab Ingga.
“Ngga, kok lo tahu semua tentang Kakak KIR sih?” selidik Sheryl.
“Tau lah. Gue nanya-nanya sama Kak Debby, hahahaha!” jawab Ingga.
“Nah, udah semua nih ya. Coba kumpul sama anggota dan
tutornya dulu deh.” ucap Kak Debby.
Masing-masing kelompok mulai merapikan posisi dan turotnya
segera menghampiri.
“Kamu sendiri?” tanya Kak Febi.
“Sama Lira, Kak. Tapi dia izin.” Jawab Sherly.
“Oh gitu. Yaudah, lagian ini cuman pembentukan kelompok dulu aja kok, tenang aja abis ini pulang. Aku juga males sebenernya, tapi mau gimana. Hehehe.” cerita Kak Febi yang supel ini.
“Sama Lira, Kak. Tapi dia izin.” Jawab Sherly.
“Oh gitu. Yaudah, lagian ini cuman pembentukan kelompok dulu aja kok, tenang aja abis ini pulang. Aku juga males sebenernya, tapi mau gimana. Hehehe.” cerita Kak Febi yang supel ini.
Di meja lain…
“Oh jadi anggota gue, kalian.” ucap Kak Dirly.
“Rabu bawa tugasnya Bu Indira ah, bantuin ya Kak. Dari bab delapan sampe bab tiga belas.” ucap Ingga.
“Eh, sama tugasnya Pak Wino. Tugas dia ada tiga bab.” ucap Dizi.
“Bunuh gue Dek besok.” canda Kak Dirly.
“Hahahahahaha! Lha, kan Kakak jago hitungan Kak. Yang ikut olimpiade fisika tahun lalu kan?” tanya Ingga, sedikit meyakinkan.
“Bikin gossip aja sih Dek.” ucap Kak Dirly.
“Rabu bawa tugasnya Bu Indira ah, bantuin ya Kak. Dari bab delapan sampe bab tiga belas.” ucap Ingga.
“Eh, sama tugasnya Pak Wino. Tugas dia ada tiga bab.” ucap Dizi.
“Bunuh gue Dek besok.” canda Kak Dirly.
“Hahahahahaha! Lha, kan Kakak jago hitungan Kak. Yang ikut olimpiade fisika tahun lalu kan?” tanya Ingga, sedikit meyakinkan.
“Bikin gossip aja sih Dek.” ucap Kak Dirly.
“Eh, Dirly merendah banget. Dua minggu yang lalu dia juga
juara dua lomba matematika sejabodetabek!” teriak Bastian, salah satu tutor
kelompok.
“Eh, parah. Bokis abis lo Bas.” teriak Kak Dirly.
“Tuh kan, berarti tutor kita tepat Diz. Matematika aja bisa dijuarain, apa lagi hati seseorang.” ledek Ingga.
“Busyet, hahahahaha,” Kak Dirly tertawa. “Eh, nomor hape kalian dong. Gue bikin grup whatsapp ya.” ucap Kak Dirly seraya menggenggam iPhone 5s-nya.
“Tuh kan Diz, akhirnya ada juga yang mintain lo nomor telepon.” ucap Ingga.
“Lho, emang selama ini ngga ada yang minta nomor hape dia?” tanya Kak Dirly.
“Ada sih Kak, tapi biasanya yang minta abang-abang tukang ager, hahahaha!” ledek Ingga.
“Sialan lo Ngga, hahahaha!” Dizi jadi ikutan tertawa, juga tawa geli dari Kak Dirly.
“Ya Tuhan, anggota gue otaknya geser banget!” teriak Dirly.
“Hahahahahahaha!” tawa Dizi dan Ingga.
“Eh, parah. Bokis abis lo Bas.” teriak Kak Dirly.
“Tuh kan, berarti tutor kita tepat Diz. Matematika aja bisa dijuarain, apa lagi hati seseorang.” ledek Ingga.
“Busyet, hahahahaha,” Kak Dirly tertawa. “Eh, nomor hape kalian dong. Gue bikin grup whatsapp ya.” ucap Kak Dirly seraya menggenggam iPhone 5s-nya.
“Tuh kan Diz, akhirnya ada juga yang mintain lo nomor telepon.” ucap Ingga.
“Lho, emang selama ini ngga ada yang minta nomor hape dia?” tanya Kak Dirly.
“Ada sih Kak, tapi biasanya yang minta abang-abang tukang ager, hahahaha!” ledek Ingga.
“Sialan lo Ngga, hahahaha!” Dizi jadi ikutan tertawa, juga tawa geli dari Kak Dirly.
“Ya Tuhan, anggota gue otaknya geser banget!” teriak Dirly.
“Hahahahahahaha!” tawa Dizi dan Ingga.
Sejak pengelompokan itu, Ingga dan Dizi jadi merasa lebih
dekat dengan Kakak kelasnya itu. Baru beberapa jam grup whatsapp kelompok 7
hadir, chat mereka sudah banyak dan isinya selalu candaan.
Chat-an di grup KIR Kelompok 7 masih terus hidup meski Ingga
tidak ikut masuk. Karena ia sedang bersama Erland.
Namun, sepertinya Ingga lupa bahwa kekasihnya ini pencemburu
berat. Erland merasa terganggu dengan getaran ponsel Ingga. Sengaja, Ingga
mengaktifkan mode getar pada ponselnya.
“Coba lihat hape kamu.” pinta Erland.
“Suap dulu aja itu ketopraknya. Tadi katanya lagi kepengin ketoprak.” ucap Ingga.
“Yaudah, hape kamu sini. Aku makan pake tangan kanan, masih ada tangan kiri buat pegang hape kamu.” ucap Erland.
“Suap dulu aja itu ketopraknya. Tadi katanya lagi kepengin ketoprak.” ucap Ingga.
“Yaudah, hape kamu sini. Aku makan pake tangan kanan, masih ada tangan kiri buat pegang hape kamu.” ucap Erland.
Amat berat menyerahkan ponselnya. Ingga bahkan tak ingat
kalau chat personal dengan Kak Dirly belum ia hapus. Tamatlah malam ini.
“Berisik banget dari tadi getar mulu. Chat-an apa sih.” cibir
Erland seraya membuka chat whatsapp.
Ada 37 pesan dari 3 kontak. KIR Kelompok 7, Dizi, dan Kak
Dirly.
“Siapa nih Kak Dirly?” tanya Erland.
Bahkan Ingga tak tahu siapa saja yang mengirim pesan di
whatsapp-nya.
“Oh, itu tutor aku di KIR.” jawab Ingga.
“Tutor?” tanya Erland yang memasang tatapan membunuh pada Ingga. Bahkan alisnya sudah naik satu. Ingga mengangguk sambil menyuap ketopraknya.
“Harusnya kan ngomongin pelajaran, bukannya bikin dia ketawa. Kamu mau jadi pelawak?”
“Apa sih? Aku ngga ngerti.”
“Jangan pura-pura ngga ngerti. Dia sampe bilang kamu lucu di PM.”
“Ya kan dia yang bilang aku lucu, bukan aku yang bilang.”
“Terus seneng gitu dibilang lucu?”
“Ih, yaudah sih.”
“Yaudah apaan? Pantes dari tadi sore online mulu. Jadi ini sebabnya.”
“Ya ampun aku kan cuman chat-an biasa sama dia.”
“Tutor?” tanya Erland yang memasang tatapan membunuh pada Ingga. Bahkan alisnya sudah naik satu. Ingga mengangguk sambil menyuap ketopraknya.
“Harusnya kan ngomongin pelajaran, bukannya bikin dia ketawa. Kamu mau jadi pelawak?”
“Apa sih? Aku ngga ngerti.”
“Jangan pura-pura ngga ngerti. Dia sampe bilang kamu lucu di PM.”
“Ya kan dia yang bilang aku lucu, bukan aku yang bilang.”
“Terus seneng gitu dibilang lucu?”
“Ih, yaudah sih.”
“Yaudah apaan? Pantes dari tadi sore online mulu. Jadi ini sebabnya.”
“Ya ampun aku kan cuman chat-an biasa sama dia.”
Erland diam, masih memandangi ponsel kekasihnya.
“Kamu kagum sama tutor kamu itu?”
“Ya sebatas kagum. Dia pinter, siapa yang ngga kagum coba?!”
“Aku. Aku ngga kagum sama dia.”
“Iya iya terserah. Udah ah sini hapenya.”
“Sebentar.”
“Ya sebatas kagum. Dia pinter, siapa yang ngga kagum coba?!”
“Aku. Aku ngga kagum sama dia.”
“Iya iya terserah. Udah ah sini hapenya.”
“Sebentar.”
Erland melakukan sesuatu pada ponsel Ingga. Beberapa menit
kemudian, Erland mengembalikan ponsel Ingga. Ingga membuka whatsappnya.
“Erland! Kamu jahat banget sih! Masa aku left dari grup KIR? Kamu juga
hapus semua chat whatsapp personal kecuali kamu,” Ingga masih menatap layar
ponselnya. “HAH? Kamu hapus semua kontak aku?????”
“Kenapa? Ngga suka?”
“Ih parah banget asli.”
“Kenapa? Ngga suka?”
“Ih parah banget asli.”
Seketika wajah Ingga langsung berubah bete. Ketopraknya pun
tidak dihabiskan.
“Kamu ngga makan ketopraknya?” tanya Erland.
“Ngga.” jawab Ingga, jutek.
“Ngga.” jawab Ingga, jutek.
Erland tersenyum.
“Makanya, jangan macem-macem di belakang aku.”
“Siapa yang macem-macem sih? Hah? Aku tuh chattingan biasa.”
“Biasa menurut kamu, belum tentu biasa menurut aku.”
“Siapa yang macem-macem sih? Hah? Aku tuh chattingan biasa.”
“Biasa menurut kamu, belum tentu biasa menurut aku.”
Erland memberikan piring ketopraknya yang sudah habis kepada
penjualnya.
“Yang, ketoprak kamu aku habisin ya?”
“Terserah!”
“Terserah!”
Erland langsung menyambut piring Ingga yang masih sisa banyak
ketopraknya.
‘Untung sayang. Kalo engga, udah gue maki-maki lo abis
marah-marah ngabisin ketoprak gue.’ cibir Ingga dalam hati.
Beberapa hari kemudian, Ingga mengajak ketiga sahabatnya
untuk sekadar nongkrong di salah satu mall di Depok.
Sebenarnya, mereka berkumpul untuk mengerjakan tugas seni
budaya. Kebetulan kerja kelompoknya di rumah Sheryl. Jadi sekalian mampir ke
Depok Town Square untuk sekadar mencari inspirasi.
Mereka mengisi perut di restoran cepat saji, A&W.
“Lo sendiri yang nyari mati. Chat pm dari cowok ngga dihapus
dulu.” ucap Lira.
“Namanya juga lupa. Padahal gue sayang banget kalo ngehapus chat pm dari Kak Dirly. Ah, Erland nih rese banget.” keluh Ingga.
“Lo pm-an sama Kak Dirly?” tanya Sheryl.
“Iya.” Ingga mengangguk sambil tersenyum.
“Namanya juga lupa. Padahal gue sayang banget kalo ngehapus chat pm dari Kak Dirly. Ah, Erland nih rese banget.” keluh Ingga.
“Lo pm-an sama Kak Dirly?” tanya Sheryl.
“Iya.” Ingga mengangguk sambil tersenyum.
Dizi yang duduk di seberang Ingga, menunduk, melirik
ponselnya yang ia pegang di bawah. Di conversation
whatsappnya, Kak Dirly berada di paling atas. Chat terakhir, satu jam yang
lalu.
“Diz, makan. Kalo ngga, gue yang makan nih?” ucap Lira.
“Eh iya. Ya ampun Ra, belum kenyang udah nambah waffle?” tanya Dizi.
“Itu kan cemilan.” ucap Lira.
“Eh iya. Ya ampun Ra, belum kenyang udah nambah waffle?” tanya Dizi.
“Itu kan cemilan.” ucap Lira.
Ingga dan Sheryl hanya menggelengkan kepalanya, sedangkan
Dizi melongo.
~
Tunggu kelanjutannya ya!
Komentar
Posting Komentar